Jumat 02 Dec 2022 04:54 WIB

Mampukah Kejahatan Korporasi Industri Farmasi Dijerat Hukum Pidana?

Pendekatan hukum progressif penting untuk jerat kejahatan korporasi industri farmasi

Dokter merawat pasien anak penderita gagal ginjal akut. (ilustrasi)
Foto:

Pertanggungjawaban Pidana Pemegang Saham

Ancaman pidana denda pada korporasi yang tertuang dalam Undang-undang Omnibus Law tentang Kesehatan, pada prinsipnya telah mengadopsi Perma No. 13 Tahun 2016, yang membuka peluang bagi korporasi untuk dijatuhi pidana. Sebelum dikeluarkannya Perma No. 13 Tahun 2016, pertanggungjawaban pidana korporasi hanya dibebankan kepada pengurus. Keberadaan Perma tersebut merupakan kemajuan besar karena korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. 

Hanya saja persoalannya tidak berhenti sampai disitu, pertanggungjawaban pidana korporasi yang dibebankan pada pengurus dan korporasi masih memberi celah berulangnya kejahatan sejenis. Doktrin corporate veil yang dianut dalam Undang-undang perseroan terbatas, telah memberi tabir perlindungan pada pemegang saham, dianggap menjadi pemicu pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. 

Karena hakekatnya korporasi hanyalah alat yang menjalankan “perintah” pemegang saham. Oleh sebab itu pemegang saham layak untuk dibebani kewajiban bertindak dan bertanggung jawab secara etis dan yuridis. Para pemegang saham dapat menggunakan modal yang dimiliki untuk memengaruhi anggota direksi dan dewan komisaris dalam mengambil kebijakan yang menguntungkan pemegang saham.

Dalam kasus obat sirup yang menyebabkan kematian pada ratusan anak, para penegak hukum perlu melihat kasus tersebut dalam dimensi kemanusiaan, bukan hanya dimensi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Bila fokus para penegak hukum hanya pidana korporasi, maka sesuai dengan Undang-undang Perseroan Terbatas dan Perma 13 tahun 2016, hanya pengurus dan korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana. 

Namun bila penegak hukum melihat kasus ini dalam perspektif kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity), maka penegak hukum dapat menggunakan doktrin piercing the corporate veil dan doktrin alter ego untuk menelisik lebih jauh peran pemegang saham, dan membuka kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban pidana bagi pemegang saham. 

Doktrin piercing the corporate veil secara prinsip berpandangan bahwa pemegang saham dapat dikenakan tanggung jawab tidak terbatas jika diketahui tidak ada pemisahan kekayaan antara pemegang saham dan perusahaan(menjadi alter ego)Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi terbukti merupakan perintah pemegang saham, dengan kata lain pemegang saham telah melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi sebagai vehicle bagi kepentingan pemegang saham, maka pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Mengingat bahwa pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang industri farmasi telah beberapa kali terjadi di Indonesia,  dan mengingat tujuan pidana adalah memberi efek jera, maka bagi para pemegang saham yang melampaui kewenangannya atau yang menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, maka para pemegang saham seperti itu dapat dimintai pertangggungjawaban pidana.

Kepada pemegang saham yang menjadi alter ego dan bertindak melampaui kewenangannya dapat dikenai pidana tambahan berupa larangan menjadi pemegang saham korporasi. Kepada korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana berupa kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut, dapat diberi sanksi pidana dengan kewajiban menyerahkan keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana, memperbaiki segala kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi, termasuk menyantuni korban dan keluarga korban, serta menyita seluruh aset korporasi untuk negara.

Pendekatan hukum progressif seperti ini bernilai penting dalam mengawal system keamanan kesehatan di negeri ini yang seringkali kecolongan oleh prilaku jahat sebagian korporasi di industri farmasi.  

 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement