Jumat 02 Dec 2022 04:54 WIB

Mampukah Kejahatan Korporasi Industri Farmasi Dijerat Hukum Pidana?

Pendekatan hukum progressif penting untuk jerat kejahatan korporasi industri farmasi

Dokter merawat pasien anak penderita gagal ginjal akut. (ilustrasi)
Foto:

Industri Farmasi dan Kejahatan Kemanusiaan

Masyarakat sejatinya menaruh kepercayaan mutlak pada industry farmasi. Sebab sebagai awam, masyarakat tidak memahami bahan baku obat, komposisi dan proses pembuatannya. Awam hanya berpikir sembuh dan sehat. Masyarakat mempercayai industri farmasi telah meneliti dan mengembangkan, serta memproduksi obat untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Demi menjaga kesehatan setiap orang cenderung berobat ke dokter dan akan memenuhi saran dan nasehat dokter, termasuk mematuhi untuk membeli obat yang diresepkan. 

Namun kepercayaan masyarakat terhadap industri farmasi itu acapkali dirusak oleh perilaku buruk sebagian perusahaan yang terobsesi hanya mengeruk keuntungan semata. Perilaku nir etik tersebut semakin subur ditengah dominasi paham neoliberalisme yang mengkondisikan korporasi memiliki peran yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan manusia, terutama dalam aspek kesehatan. Asumsi dasar dari neoliberal adalah meletakkan pasar sebagai pelaku utama ekonomi; liberalisasi pasar dalam model kebebasan pergerakan barang, jasa, investasi dan modal tanpa diperlukan intervensi negara

Liberalisasi pasar dan minimnya peran negara, dapat dimanfaatkan oleh para pemegang saham atau investor untuk menekan korporasi demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, yang pada akhirnya nilai dan etika disingkirkan. Dalam konteks industri farmasi, ambisi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari pemegang saham maupun investor, dapat berakibat pada rusaknya sistem kesehatan, bahkan hingga jatuhnya korban jiwa. Kejahatan korporasi itu termasuk dalam kejahatan kerah putih (white collar crime).

Melihat kecenderungan perilaku korporasi yang mengeruk keuntungan setinggi-tingginya itu, para ahli pidana sudah sejak lama meletakkan industri farmasi sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan (Braithwaite, 1984/2014). MenurutBraithwaite kejahatan korporasi dalam industri farmasi, terjadi dalam aspek yang luas, yang mengakibatkan kerugian besar pada konsumen. Perusahaan farmasi kerap terlibat dalam tindakan ilegal, tidak etis dan berbahaya seperti penyuapan, menggunakan proses produksi yang berbahaya, kelalaian dan penipuan dalam pengujian keamanan obat. 

Pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan farmasi termasuk dalam beberapa kategori, diantaranya manipulasi desain dan temuan uji klinis, serta kesalahan penyajian temuan tersebut dalam jurnal medis dan ilmiah; pemasaran dan promosi produk farmasi yang curang dan ilegal; kelebihan produksi obat-obatan berbahaya, seperti kegagalan produsen untuk mengawasi dan memantau para pengedarobat-obatan tersebut; dan upaya untuk melemahkan kekuatan badan pengawas obat (Sillup and Porth 2008).

Dalam proses produksi, kecurangan bisa terjadi pada saat pemilihan bahan baku, komposisi obat. Dalam proses pemasaran obat, kecurangan bisa terjadi akibat kolusi antara perusahaan farmasi dengan dokter atau rumah sakit dan apotik, serta iklan yang tidak sesuai. 

Merespons hal tersebut, sejumlah negara telah memberi perhatian dengan memberi sangsi tegas bagi kejahatan pidana yang dilakukan industri farmasi. Di Amerika misalnya, selama rentang 1991 hingga 2022 terdapat 20 kasus besar terkait pidana korporasi yang melibatkan industri farmasi. Diantaranya tiga kasus dengan pidana tertinggi, adalah Glaxo Smith Kline, kasus Pfizer, Johnson & Johnson, Laboratorium Abbott yang sudah diberikan sangsi tegas. Tindak pidana yang dilakukan meliputi promosi di luar label, kegagalan untuk mengungkapkan data keamanan, membayar suap kepada dokter, membuat pernyataan palsu dan menyesatkan konsumen mengenai keamanan produk. 

Begitu juga di Jepang, perusahaan farmasi Takeda Pharmaeceutical, di tahun 2015 menghadapi ratusan gugatan terhadap produk obat diabetes actors. Obat itu ditengarai meningkatkan resiko kanker. Perusahaan ini dikenai denda US$ 2,4 Miliar.  

 

 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement