Jumat 02 Dec 2022 04:54 WIB

Mampukah Kejahatan Korporasi Industri Farmasi Dijerat Hukum Pidana?

Pendekatan hukum progressif penting untuk jerat kejahatan korporasi industri farmasi

Dokter merawat pasien anak penderita gagal ginjal akut. (ilustrasi)
Foto:

Jerat Pidana Kejahatan Korporasi  

Merespon maraknya balita tumbang akibat penggunaan obat sirup beracun itu, Kementerian Kesehatan kemudian menerbitkan surat edaran untuk menghentikan penggunaan obat sirup. Surat Edaran itu ditindaklanjuti oleh Bareskrim Polri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan melakukan penyelidikan. 

Dari penyelidikan yang dilakukan Bareskrim Polri dan BPOM ditemukan dalam produk obat sirup AF, YF, UPI terdapat kandungan Etilen Glikol dan Dietilen Glikol dengan jumlah melebihi ambang batas yang diperbolehkan BPOM. Dengan temuan itu maka Bareskrim Polri menetapkan empat korporasi sebagai tersangka, yaitu PT AF, PT YF, PT UPI, dan CV SC. 

CV SC sebagai pemasok bahan sediaan obat farmasi dianggap telah lalai melakukan pemeriksaan atas barang sediaan. Bahan Propilen Glikol yang dipasok ke beberapa pabrik farmasi diduga telah tercemar Etilena Glikol dan Dietilena Glikol sebesar 52 - 90 %. Seharusnya sebagai pemasok barang sediaan farmasi, sebelum mengirimkan ke pabrik farmasi melakukan pemeriksaan atas kualitas bahan obat farmasi tersebut. CV SC dapat diduga melanggar Pasal 98 Undang-undang Kesehatan, yang menyatakan, “(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. Dan, (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Selain melanggar Pasal 98 Undang-undang kesehatan, CV SC juga melanggar ketentuan Pasal 8 Ayat (3) Undang-undang Konsumen, tahun 1999, “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar”.

Sedang industri farmasi yang memproduksi sirup yang menyebabkan kasus gagal ginjal akut pada anak dapat dikenakan Pasal 196 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 sebagaimana diubah terakhir dalam Pasal 60 UU 11/2020 tentang Kesehatan, serta Pasal 8 dan Pasal ayat 62 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 196 Undang-undang Kesehatan menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Terhadap pelanggaran pidana yang dilakukan oleh korporasi, maka korporasi selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda.

 

 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement