REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Para pelaku koperasi menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo diharapkan dapat memerintahkan menteri atau kepala lembaga terkait untuk mencabut pasal-pasal tentang koperasi dari Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK).
Pelaku koperasi menginginkan agar proses pembahasannya dilakukan secara terpisah dalam RUU Perkoperasian sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
“Kami meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak membiarkan koperasi dibawa ke individualisme dan kapitalisme, dan tercerabut dari asas, nilai-nilai, prinsip-prinsip dan jati dirinya seperti tercantum dalam UUD 1945, dan meminta agar urusan koperasi seluruhnya diatur dalam RUU Perkoperasian, bukan dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK),” demikian bunyi salah satu pokok pikiran dalam surat terbuka yang disampaikan kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu (30/11).
Surat terbuka tersebut disampaikan para pelaku yang tergabung dalam Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) yang ditanda tangani Presidium Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) HM Andy Arslan Djunaid, SE dan Ketua Umum Generasi Peduli Koperasi Indonesia Dr Iqbal Alan Abdullah. Pada Rabu (30/11) forum ini juga melakukan RDPU dengan Komisi VI DPR RI membahas permasalahan yang sama.
Iqbal mengatakan surat terbuka ini mewakili 2.204 Gerakan Koperasi di Indonesia dan melayani rakyat Indonesia sebanyak 30 juta orang yang terlibat aktif dalam pergerakan koperasi di Indonesia.
“Namun penyelesaiannya bukan dengan mencabut ruh konstitusionalnya, tapi membenahi sisi pengawasannya di jalan yang diperuntukkan bagi Koperasi, bukan di OJK,” katanya.
Dalam membenahi pengawasan ini, Iqbal mengatakan, para pelaku koperasi mengusulkan perlu dibangun sistem yang khas. Di antaranya melahirkan Lembaga atau Komisi Pengawas Koperasi dan menginisiasi pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi (LPS Koperasi) yang diatur lebih rinci di dalam RUU Perkoperasian, dan berada di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM.
Menurut Iqbal, Lembaga atau Komisi Pengawas Koperasi dan LPS Koperasi ini merupakan satu paket dalam usulan untuk memperkuat koperasi yang harus dimasukkan ke dalam RUU Perkoperasian. Ini adalah bentuk dari internalisasi penyelesaian persoalan yang terkait koperasi oleh koperasi itu sendiri di dalam rumah Kementerian Koperasi dan UKM.
“Kita ingin semua ini diatur bukan dalam RUU PPKS sebab RUU PPKS ini adalah lebih kepada rezim perbankan dan sektor keuangan lainnya, bukan koperasi. Ini bukan sekadar suka atau tidak suka dengan OJK tapi ini sangat prinsipil menyangkut tadi apa yang kita sebut asas, prinsip, jadi diri,” katanya.
Iqbal mengaku tidak sepakat dengan sentralisasi pengawasan di OJK. Pertama, kata dia, sudah dipahami bahwa OJK itu sudah sangat kelebihan beban. Apabila dipaksakan ke OJK, ia khawatir proses pengawasan tidak akan berjalan efektif.
Kedua, di banyak negara, pengawasan antara perbankan dengan koperasi itu memang berbeda. Sebagai contoh di Amerika Serikat dan sejumlah negara.
“Jadi kami meminta kepada Bapak Presiden Jokowi untuk dapat mencegah terjadinya penyimpangan memasukkan koperasi ke rezim pengawasan OJK. Kita semua nantinya malu dengan founding fathers yang mewariskan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang sesuai pasal 33 UUD 1945 sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan kepada kita, dan kita tidak bisa mempertahankannya,” ujar Iqbal.