Selasa 15 Nov 2022 06:51 WIB

G20, Harapan kepada Biden, Xi Jin Ping dan Jokowi

Semua berharap yang terbaik akan hasil KTT G20

Pelajar Bali mengibarkan bendera negara anggota G20 saat kedatangan para pemimpin G20, di sepanjang jalan dekat bandara Internasional Ngurah Rai di Bali, Indonesia, 14 November 2022. KTT Kepala Negara dan Pemerintahan Kelompok Dua Puluh (G20) ke-17 akan diadakan di Bali mulai 15 hingga 16 November 2022.
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Pelajar Bali mengibarkan bendera negara anggota G20 saat kedatangan para pemimpin G20, di sepanjang jalan dekat bandara Internasional Ngurah Rai di Bali, Indonesia, 14 November 2022. KTT Kepala Negara dan Pemerintahan Kelompok Dua Puluh (G20) ke-17 akan diadakan di Bali mulai 15 hingga 16 November 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle.

Dalam Crux Channel, YouTube, pertemuan bilateral US-China yang diupload beberapa jam lalu, Biden menyampaikan kepada Xi Jin Ping bahwa dia ingin memastikan kedua negara itu mampu memenej perbedaan dan memelihara kompetisi untuk tidak menjadi konflik dan bersama dalam menyelesaikan isu global. Ketika masuk pada isu global, Biden menekankan dua hal yakni soal perubahan iklim dan "food security". Xi dalam responnya setuju dengan perlunya komunikasi yang baik diantara kedua negara itu, namun tidak merespon isu kritis perubahan iklim dan kelangkaan pangan. Xi malah menekankan isu stabilitas dan keamanan dunia.

Pertemuan kedua pimpinan negara besar dunia ini, hari ini, yang didampingi oleh para menterinya, pastinya akan menjadi "guidance" besok dan lusa, dalam pertemuan resmi G20. Indonesia sendiri selama ini mengusung tema "Global Health Architecture, Digital Transformation and Sustainable Energy Transisition". Hilangnya tema "Climate Change", sebagai agenda utama, yang dimainkan Indonesia tentu saja sejalan dengan Tiongkok, India, Brazil dan Rusia yang masih menghadapi isu lingkungan.  Kelompok negara ini, khususnya Indonesia dan China, berada pada Environment Index performance yang rendah sekali, di bawah 30, sementara Amerika 51, German dan Prancis di atas 60, sebagai bandingan (EPI, 2022).

Lebih dalam soal Indonesia, 

Greenpeace mencatat misalnya selama 2015-2019, pemerintah Jokowi jilid 1, seluas 4,4 juta Ha lahan terbakar. Sebanyak 30% diantaranya berada pada konsesi kelapa sawit dan bubur kertas. (BBC Indonesia, 24/9/22). Sebelum Jokowi melakukan moratorium kelapa sawit, Jakarta Post melaporkan 2,6 juta Ha hutan terbakar tahun 2015 (6/11/21), 80% untuk pembukaan lahan sawit, dan BBC Indonesia mengatakan tahun 2016 saja deforestasi mencapai 929.000 Ha. (BBC 20/11/21). Pengrusakan lingkungan lainnya adalah batubara. Eksploitasi batubara sengaja terus digenjot, khususnya ketika harga tinggi, yang membuat sumber energi tidak ramah lingkungan ini menjadi andalan Indonesia. Selain energi ini ikut memperkaya segelintir elit yang terlibat dalam wajah-wajah berseri di G20.

Biden memang konsisten bicara climate change. Pada Agustus 2021 di Inggris, sebelum acara G7 saat itu, bahkan dia menyebutkan Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun mendatang. Ini adalah peringatan besar juga bagi kita tentang seriusnya ancaman perubahan iklim. Namun, dalam situasi dunia yang tidak pasti, khususnya akibat perang Rusia vs Ukraina, dan munculnya krisis energi, akan membuat tema lingkungan dan energi bersih sulit untuk menjadi kesadaran bersama. Batubara Indonesia sendiri menjadi incaran berbagai negara barat yang sedang krisis energi saat ini. Begitu pula minyak sawit kita diborong habis oleh (jejaring) negara-negara maju yang ingin mengoplos sumber energi mereka, beberapa waktu lalu.

Biden dan Xi tidak menyinggung soal "Global Health Architecture" pada pertemuan mereka tadi. Kepentingan isu ini lebih pada negara-negara miskin seperti Indonesia yang menderita ketika pandemi terjadi. Sebagamana kita ketahui pada masa pandemi Covid19, negara barat dan China mengontrol penemuan, pabrikan dan distribusi vaksin COVID-19. Bahkan, Rusia yang sudah menemukan vaksin Sputnik, tidak diakui secara internasional oleh barat.

Isu Global Fund mungkin kurang menarik, karena WHO (World Health Organization) sebagai lembaga kredibel sulit untuk "disaingi". Menkes Budi Sadikin, dalam " Forum: G20 and APEC", Chinadaily, 14/11/22, meyakini Global Fund ini menjadi salah satu andalan untuk menopang ketimpangan antara negara miskin dan kaya ketika terjadi krisis. Tapi, sesungguhnya begitulah hubungan antara negara kaya dan miskin sepanjang sejarah manusia, kecuali negara miskin mempunyai daya tawar kolektif melakukan tekanan.

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement