Jumat 28 Oct 2022 02:20 WIB

Dirjen Kemlu: ASEAN tak Pernah Bahas Pengeluaran Paksa Myanmar

Kursi Myanmar tetap ada meski kosong tak diduduki,

 Petugas polisi dan satpam berdiri di gerbang utama sekretariat Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menjelang pertemuan khusus menteri luar negeri ASEAN di Jakarta, 27 Oktober 2022. Pertemuan khusus para menteri luar negeri ASEAN diadakan untuk membahas krisis yang sedang berlangsung di Myanmar.
Foto: EPA-EFE/BAGUS INDAHONO
Petugas polisi dan satpam berdiri di gerbang utama sekretariat Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menjelang pertemuan khusus menteri luar negeri ASEAN di Jakarta, 27 Oktober 2022. Pertemuan khusus para menteri luar negeri ASEAN diadakan untuk membahas krisis yang sedang berlangsung di Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Sidharto R Suryodipuro menegaskan bahwa perhimpunan negara Asia Tenggara tersebut tidak pernah membahas rencana pengeluaran paksa (expulsion) Myanmar sebagai anggota. Pernyataan tersebut dia sampaikan usai Pertemuan Khusus Para Menteri Luar Negeri ASEAN untuk membahas isu Myanmar di Jakarta pada Kamis.

"Tidak pernah ada pembahasan mengenai expulsion of Myanmar. Pembahasan selama ini selalu didasarkan pada premis bahwa ASEAN adalah satu tubuh dengan Myanmar sebagai bagian dari ASEAN," tutur dia.

Baca Juga

Hal tersebut, kata Arto, ditunjukkan ASEAN dengan selalu menyediakan meja berbendera Myanmar dalam setiap pertemuan, meskipun negara tersebut tidak pernah mengirimkan perwakilan nonpolitiknya.

Kesepakatan ASEAN untuk mengikutsertakan perwakilan nonpolitik dari Myanmar merupakan respons atas krisis politik yang dipicu kudeta militer di negara itu sejak Februari tahun lalu karena ASEAN tidak ingin melegitimasi pemerintahan junta.

"Kalau mereka tidak mengirim perwakilan nonpolitik, maka meja Myanmar akan kosong," kata Arto.

Meskipun Myanmar tidak pernah mengirim perwakilannya dalam pertemuan-pertemuan ASEAN, ujar dia, perhimpunan itu tetap menganggap penting penyelesaian krisis politik yang diwarnai peningkatan kekerasan hingga menyebabkan jatuhnya korban di Myanmar.

Pasalnya, krisis politik yang berkepanjangan di Myanmar akan menghambat proses pembangunan Komunitas ASEAN yang didasarkan pada pilar politik dan keamanan, ekonomi, serta sosial budaya, katanya.

"Kalau Myanmar memilih untuk tidak dibantu ASEAN, maka tidak banyak yang bisa dilakukan oleh ASEAN. Namun, ASEAN harus maju terus dalam proses community building, dan Myanmar sebagai bagian dari komunitas tersebut harus mempertimbangkan bagaimana dia akan berkontribusi," tutur Arto.

Dalam pertemuan di Jakarta, para menlu ASEAN berbicara secara terbuka mengenai berbagai isu sensitif mengenai Myanmar. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan bahwa pendekatan untuk menyimpan masalah di bawah karpet sudah tidak seharusnya menjadi opsi dalam mekanisme kerja ASEAN.

Pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi untuk KTT ASEAN di Phnom Penh pada November mendatang di Kamboja.

Dalam KTT itu nanti, para pemimpin ASEAN akan mengkaji implementasi Konsensus Lima Poin yang telah disepakati pada KTT April tahun lalu untuk merespons krisis politik di Myanmar pascakudeta militer, karena mereka menilai tidak ada kemajuan signifikan dalam pelaksanaan konsensus itu.

Konsensus Lima Poin menyerukan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan pemangku kepentingan di Myanmar.

Seperti negara ASEAN lainnya, Indonesia pun telah berulang kali menyuarakan kekhawatiran dan kekecewaan pada mandeknya implementasi konsensus itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement