Rabu 26 Oct 2022 18:26 WIB

Kemenkes: Indonesia Krisis Dokter Spesialis

Pemenuhan jumlah dokter spesialis penyakit stroke menjadi prioritas.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Ilham Tirta
Seorang dokter (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com.
Seorang dokter (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Indonesia menjadi negara ketiga terendah di ASEAN dalam pemenuhan jumlah dokter, khususnya dokter spesialis dan sub-spesialis. Kepala Subdit Pengelolaan Rujukan dan Pemantauan Rumah Sakit Kementerian Kesehatan, Yout Savitri mengatakan, untuk kasus stroke, Indonesia setidaknya membutuhkan empat jenis bidang spesialis, yaitu saraf, bedah saraf, saraf neurologi intervensi, dan bedah saraf nerofa sekuler.

Saat ini, kekurangan secara nasional untuk empat bidang spesialis tersebut sebanyak 417 dokter spesialis. “Kekurangan di spesialis saraf itu 92 orang, bedah saraf itu 11 orang, neuro intervensi itu 279 orang, bedah saraf nerofa sekuler itu 35,” kata Yout ditemui di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Kota Bandung, Rabu (26/10/2022).

Baca Juga

 

Sebagai penyakit penyebab kematian terbanyak di Indonesia, pemenuhan jumlah dokter spesialis penyakit stroke jelas menjadi prioritas, bersama dengan spesialis jantung, kanker, dan ginjal. Namun persoalan lain yang terjadi adalah buruknya distribusi dokter spesialis dan sub-spesialis di Indonesia.

 

Menurutnya, tidak lengkapnya peralatan kesehatan di rumah sakit-rumah sakit daerah juga menjadi kendala upaya penyebaran dokter spesialis dan sub-spesialis. Melalui Permenkes Nomor 13 Tahun 2022 tentang perubahan rencana strategis kementerian kesehatan tahun 2020-2024, Kemenkes berupaya melakukan pemerataan pengadaan alat-alat kesehatan berdasarkan leveling rumah sakit, yakni madya, utama, dan paripurna.

 

“Sebenarnya secara nasional itu cukup, tapi kalau distribusi antar kabupaten kota di suatu wilayah provinsi itu masih belum merata, karena alat kesehatan di RS Daerah itu tidak ada,” ujar Yout.

 

Dia juga menyinggung perlunya koordinasi dan laporan dari pemerintah daerah dan kewilayahan untuk penyesuaian kebutuhan alat-alat kesehatan. Melalui perjanjian kerja sama (MoU) antara Kementerian Kesehatan dengan pemerintah daerah, diharapkan adanya sinergi dalam mendukung pemerataan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis dan kelengkapan alat-alat kesehatan.

 

“Setelah alat-alat kesehatan terlengkapi, dari situ baru kita akan distribusikan dokter secara merata,” ujarnya.

 

Direktur Utama Rumah Sakit Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON), Mursyid Bustami mengatakan, selain kurangnya kecukupan jumlah dokter, persoalan distribusi juga masih menjadi masalah yang belum tertangani. Faktor penyebab rendahnya distribusi dokter adalah terbatasnya jumlah dokter spesialis di Indonesia.

 

“Idealnya itu rasio 1:5, dari 5 dokter itu 1 spesialis, itu secara general dari bidang apapun, dan hingga kini distribusi bertumpuk di Jawa, khususnya Jakarta,” ujarnya.

 

Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia termasuk negara ketiga terendah di ASEAN dalam pemenuhan golden line rasio jumlah dokter, termasuk dokter umum, spesialis dan sub-spesialis. Indonesia berada di posisi 0,46/1.000 dari rasio ideal 1/1.000 atau 1 dokter per 1.000 pernduduk.

 

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya, Brahmana Askandar menggambarkan, dari keseluruhan dokter di Indonesia, 57,63 persen bekerja di Pulau Jawa. Sebagai contoh, terdapat 924 dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang berpraktik di Jakarta, 508 di Jawa Barat, dan 415 di Surabaya. Sebaliknya, hanya ada 5 di NTT, 11 di Maluku Utara, dan 13 di Gorontalo.

 

“Belum lagi bila berbicara mengenai dokter subspesialis. Sebagai gambaran adalah dokter spesialis kandungan dengan subspesialis kanker, di Jakarta terdapat 28 dokter ahli kanker kandungan, 16 di Jawa Timur, 11 di Sumatera Utara, dan masih ada sepuluh provinsi yang belum memiliki dokter kandungan subspesialis kanker,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement