Rabu 12 Oct 2022 18:43 WIB

Komnas HAM: Tak Ada Kerusuhan Sebelum Tembakan Gas Air Mata Polisi di Kanjuruhan

Suporter Aremania ke lapangan tak buat rusuh, tapi peluk pemain.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Komisioner Penyelidikan atau Pemantauan Komnas HAM  Mohammad Choirul Anam (kanan) bersama Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM/Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Beka Ulung Hapsara (kiri) memberikan keterangan kepada media terkait hasil temuan awal Komnas HAM atas Tragedi Kemanusiaan Stadion Kanjuruhan di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (12/10/2022). Dalam keterangannya Komnas HAM menilai penyebab utama tragedi Kanjuruhan ialah penggunaan gas air mata.
Foto:

Gas air mata

Kemudian, kata Anam, prakondisi tersebut, tanpa kalkulasi keamanan dari kepolisian yang direspons dengan serangan gas air mata. Dari penyelidikan Komnas HAM, kata Anam,  gas air mata dari kepolisian pertama kali meluncur ke arah tribun selatan. Luncuran zat berbahaya pengurai massa itu, terjadi sekitar pukul 22:08:59 WIB.

Kesimpulan Komnas HAM, kata Anam, pada jam tersebut merupakan titik krusial situasi tak terkendali pada malam nahas tersebut. “Inilah yang menyebabkan kepanikan penonton di tribun, dan memunculkan situasi di lapangan menjadi rusuh dan ricuh,” sambung Anam.

Anam menegaskan, dalam salah satu bukti atas situasi tersebut, tim penyelidikan dapatkan dari dokumentasi rekaman video milik salah satu korban. Namun Anam mengungkapkan, tim penyelidikannya tak dapat melakukan wawancara detail dengan korban yang merekam mula situasi kritis karena serangan gas air mata tersebut, lantaran si korban sudah dinyatakan meninggal dunia. “Video yang menjadi kunci yang kami dapatkan ini, memang direkam oleh salah satu korban yang sudah meninggal. Dia merekam dari tribun, sampai titik pintu keluar. Tetapi dia sendiri meninggal dunia,” ujar Anam.

Anam melanjutkan, setelah tembakan gas air mata pertama dari keamanan Polri itu, kepanikan di tribun membuat para penonton berdesak-desakan untuk keluar. Situasinya, dikatakan Anam, juga dibarengi dengan tembakan-tembakan gas air mata lanjutan yang membuat semua orang di dalam stadion menjadi panik.

Namun sayangnya, semua pintu keluar stadion pada saat itu, terbuka tak maksimal. Sehingga membuat para penonton bertumpuk-tumpuk untuk keluar, namun dijejali dengan kepanikan, dan zat perih dari gas air mata petugas kepolisian.

“Bahwa fakta yang kami temukan, pintu tribun 10, 11, 12, 13, dan 14, itu terbuka. Tetapi terbuka dengan sangat kecil. Hanya pintu kecil yang terbuka,” terang Anam.

Sementara situasi di tengah dan pinggir lapangan, situasi tak kalah brutal juga terjadi. Komnas HAM kata Anam menemukan bukti-bukti dari fakta kejadian tentang aksi-aksi para anggota Polri dari satuan Brimob, dan Sabhara, serta satuan Angkatan Darat (AD) dari Zeni Tempur, turut serta melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap para suporter yang semula nekat masuk ke lapangan, dan terjebak situasi.

Berbeda dengan Polri

Tak ada kerusuhan di dalam stadion setelah pertandingan Arema FC Vs Persebaya versi Komnas HAM ini berbeda dengan hasil penyidikan yang oleh Polri. Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Kamis (6/10) lalu, di Malang, mengakui penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian saat malam nahas itu, salah satu penyebab banyaknya korban. Namun Jenderal Sigit mengatakan, tembakan gas air mata itu tak tiba-tiba. Ada muasal situasi yang mendesak aparat keamanan kepolisian terpaksa menembakkan gas air mata.

Sigit mengatakan aksi nekat para penonton masuk ke lapangan, lantaran emosional melihat hasil pertandingan. “Proses pertandingan semuanya berjalan lancar. Namun saat akhir pertandingan muncul reaksi dari suporter ataupun dari penonton terkait hasil yang ada,” kata Sigit.

Para suporter yang masuk ke lapangan itu, kata Sigit sempat diantisipasi. Polisi kata Sigit, sampai melakukan evakuasi paksa para pemain untuk penyelamatan. Evakuasi yang dilakukan bahkan dikatakan memakan waktu satu jam.

Kapolres Malang saat itu, AKBP Ferli Hidayat, kata Kapolri memimpin langsung evakuasi dengan empat barakuda. Saat evakuasi dilakukan, kata Kapolri, para penonton dan suporter semakin banyak masuk lapangan. Hal tersebut membuat kepolisian melakukan pengendalian. Tapi dengan kekerasan. “Seperti yang kita lihat, ada yang menggunakan tameng. Termasuk pada saat mengamankan penjaga gawang Arema FC, saudara Adilson Marenga,” kata Sigit.

Para anggota pengamanan, berusaha melakukan pengendalian dengan tembakan gas air mata.  Tapi tembakan gas air mata itu, juga dialamatkan ke arah penonton  di tribun, yang tak tahu apa-apa atas aksi nekat para suporter yang turun ke lapangan. Jenderal Sigit mengatakan, tembakan gas air mata oleh kepolisian dilakukan 11 kali. “Terdapat 11 personel yang menembakkan gas air mata,” ujar Sigit.

Para personil itu, tujuh kali melepaskan gas air mata ke arah tribun selatan, satu kali tembakan ke tribun utara. “Dan tiga kali tembakan ke lapangan,” sambung Sigit. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement