REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan sudah mengumpulkan berbagai fakta dan bukti terkait penyelenggaraan laga sepak bola kasus yang menewaskan seratusan suporter di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022) lalu. TGIPF menemukan ada banyak hal yang sudah diatur dalam standar operasional prosedur, tetapi tidak dijalankan.
"Hampir dapat disimpulkan banyak hal yang sudah ada, tetapi tidak dijalankan. Banyak hal yang sudah ada, tapi tidak dijalankan. Dan banyak hal kita membenarkan hal-hal yang sebetulnya itu tidak tepat," kata anggota tim Rhenald Kasali di Kantor Kemenko Polhukam, Senin (10/10/2022).
Misalnya saja, sambung dia, berdasarkan informasi yang diterima dari Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) ternyata selama ini pertandingan sepak bola diamankan dengan menggunakan barakuda. Padahal, jelas dia, hal itu sebetulnya tidak tepat. "Itu tidak tepat sebetulnya, yang harus diberikan itu adalah rasa aman dan membangun budaya sportifitas, tapi sebetulnya itu sudah ada dari ketentuan FIFA, tidak dijalankan," ungkap dia.
Kemudian, Rhenald melanjutkan, berdasarkan kajian yang dilakukan, stadion-stadion yang dibangun di Indonesia dalam suasana tahun 1970-an dan 1980-an. Pada masa itu, jelas dia, jumlah penduduk Indonesia belum sebanyak sekarang dan kebutuhan masyarakat untuk menggunakan stadion belum seperti masa kini.
Selain itu, Rhenald mengatakan, kondisi pintu stadion pun dibuat dengan model digeser seperti di penjara. Sehingga pintu tersebut disebut tidak memadai saat harus digunakan dalam keadaan darurat, karena terlalu sempit. "Jadi pintunya itu sangat sempit. Dan foto yang tadi kami sudah dianalisis, dari pintu keluar, dari atas tribun itu keluar, itu curam sekali. Dalam keadaan normal pun orang tidak bisa cepat," jelas dia.
Namun, hal itu justru dibiarkan. Padahal, menurut TGIPF, stadion-stadion seperti itu harus sudah dibongkar atau diubah. "Misalnya saja sekarang era crowd-nya ini adalah kerumunan yang dibentuk oleh sosial media. Jadi kalau pun jumlah penonton itu dikurangi demi keamanan, penonton yang didalam itu bisa memberi tahu kepada teman-temannya dalam waktu segera bahwa lapangan kosong. Sehingga itu mengundang yang lain untuk masuk datang. Karena beberapa menit sebelum pertandingan selesai itu biasanya pintu dibuka," ujarnya.
"Jadi ini suasana-suasana ini seperti ini yang masih terjadi dan hari ini kami mengonfirmasi, gap-nya kami periksa," tambahnya menjelaskan.
Oleh sebab itu, ia menegaskan, TGIPF tidak hanya fokus pada kasus fisik di Stadion Kanjuruhan. Namun, ingin mencari akar permasalahan dan memberikan rekomendasi mengenai penyelenggaraan sepak bola secara nasional.
"Yang ingin kita lakukan adalah mencari akar masalahnya supaya tidak terjadi lagi terulang di stadion lain. Karena hampir setiap minggu pertandingan itu digelar, ada korban yang satu meninggal, ada yang dua meninggal, ada yang kecelakaan, tapi tidak pernah sebanyak ini," ucap Rhenald.
"Dan kalau stadionnya, cara penanganannya seperti ini, pasti akan muncul lagi di tempat lain dalam jumlah yang sama. Maka perhatian TGIPF ini adalah mengubah, memperbaiki peradaban budaya sepakbola supaya nyaman, aman, dan menyenangkan,"