REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengaku telah menerima laporan adanya dugaan gas air mata yang kedaluwarsa. Gas air mata ini terutama yang digunakan saat tragedi Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022) malam.
"Jadi soal yang kedaluwarsa informasinya memang kita dapatkan, ya. Tapi itu perlu pendalaman," kata Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam saat dihubungi Republika.co.id, Senin (10/10/2022).
Hal yang paling penting, kata Choirul, dinamika di lapangan menjadi sesuatu yang utama untuk dilihat. Choirul tak menampik, pemicu utama dinamika di lapangan memang berasal dari gas air mata.
Menurut Choirul, gas air mata telah menimbulkan kepanikan sehingga banyak suporter Aremania yang berdesak-desakan ke pintu keluar. Saat itu para suporter sudah dalam keadaan sakit mata, sesak dada dan sebagainya. Sementara itu, pintu yang terbuka sangat kecil menimbulkan suporter saling berhimpitan sehingga mengakibatkan kematian.
"Jadi ekskalasi yang sudah seharusnya terkendali, kalau kita lihat secara cermat, itu kan terkendali sebenarnya, tetapi semakin memanas ketika ada gas air mata. Gas air mata yang menjadi pemicu utama adanya kematian bagi sejumlah korban," ujarnya.
Aspek kedua, Komnas HAM juga memperhatikan masalah kuota stadion yang menjadi hal penting dalam kejadian ini. Kemudian juga mendalami masalah sistem pengawasan yang seharusnya sudah dilaksanakan dua hari sebelum pertandingan. Hal ini berarti termasuk pengawas yang berasal dari perangkat PSSI atau PT Liga Indonesia Baru (LIB).
Ada pun terkait kondisi korban, Choirul mengungkapkan, sebagian besar mengalami kejang-kejang, mata merah, sesak napas dan sebagainya. Namun, di balik itu, Choirul menegaskan, hal yang paling itu adalah kerangka pengawasnya.
"Dalam konteks ini LIB atau PSSI yang pengawas seharusnya datang ke sana (lokasi pertandingan) dua hari sebelum hari H untuk memastikan bahwa penyelenggaraannya berjalan dengan baik. Itu juga harus dilihat secara mendalam dan komprehensif," kata dia menambahkan.