Selasa 04 Oct 2022 05:17 WIB

Hakim MK : Pemilu Bukan Jaminan Jadi Negara Demokratis

Pemilu dapat dimaknai sebagai manifestasi kedaulatan rakyat.

Rep: idealisa masyrafina/ Red: Hiru Muhammad
  Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menyatakan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di suatu negara tak menjamin terpenuhinya aspek demokrasi.  Kopi Kenangan satu liter
Foto: dok. Kopi Kenangan
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menyatakan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di suatu negara tak menjamin terpenuhinya aspek demokrasi. Kopi Kenangan satu liter

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menyatakan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di suatu negara tak menjamin terpenuhinya aspek demokrasi. 

Hal tersebut disampaikan Suhartoyo saat menjadi pembicara kunci dalam seminar di Auditorium Ki H. Muhammad Saleh Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Surabaya. Suhartoyo dalam paparannya mengatakan pemilu merupakan bagian fundamental dari pemerintahan yang demokratis. 

Baca Juga

"Pemilu dapat dimaknai sebagai manifestasi kedaulatan rakyat. Namun tidak semua negara yang telah menjalankan pemilu dapat disebut negara yang demokratis," kata Suhartoyo dalam keterangannya, Senin (3/10). 

Suhartoyo menyatakan model kelembagaan penyelenggara pemilu seharusnya berdiri secara independen dan terlepas dari intervensi pemerintah, partai politik (parpol) maupun kelompok kepentingan lain. Model kelembagaan pemilu yang mandiri meliputi aspek institusional, fungsional dan personal. 

"Aspek institusional penyelenggara pemilu tidak tunduk dan bebas dari ketergantungan dari berbagai pihak. Aspek fungsional bermakna bahwa kewenangan penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan pemilu harus bebas dari intervensi, sedangkan aspek personal dimaksudkan agar tiap individu yang terlibat dalam pemilu bersifat non participant dan tidak memihak," tegas Suhartoyo. 

Suhartoyo menjelaskan dalam sistem politik yang demokratis terkait pemilu yakni adanya pemerintahan yang harus dipilih secara teratur melalui pemilihan yang adil, terbuka serta terdapat larangan terhadap tindakan yang bersifat pemaksaan. Berikutnya terdapat hak memilih dan dipilih bagi warga negara yang telah memenuhi syarat, termasuk pula hak untuk mengekspresikan kebebasan politik. 

Berikutnya, adanya akses untuk memanfaatkan sumber-sumber informasi alternatif yang tidak dimonopoli oleh pemerintah atau kelompok tertentu. 

"Pada akhirnya semua warga negara memiliki hak yang sama untuk membentuk dan bergabung ke dalam kelompok yang otonom termasuk bergabung dengan partai politik, kelompok-kelompok kepentingan lainnya," ujar Suhartoyo. 

Suhartoyo juga menegaskan tercapainya indikator sistem politik negara demokratis tidak terlepas dari konstruksi hukum pemilu yang mendasari sistem dari penyelenggaraan pemilu. Menurutnya, hukum pemilu di Indonesia berkembang pesat salah satunya terkait progresivitas MK dalam melahirkan putusan hukum pemilu.

"Putusan hukum pemilu tidak hanya dilandaskan pada peraturan perundang-undangan saja, melainkan juga bersumber dari berbagai yurisprudensi putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK melalui kewenangan konstitusionalnya baik dari pengujian undang-undang, perselisihan hasil pemilihan umum dan perselisihan hasil kepala daerah," ucap Suhartoyo. 

MK tercatat telah menangani sengketa hasil pemilu sekitar 676 putusan dan sengketa hasil pemilihan kepala daerah sebanyak kurang lebih 1.136 putusan.  Dalam perjalanannya, MK telah beberapa kali menjatuhkan putusan landmark decision terkait hukum pemilu. Salah satu undang-undang yang paling banyak diuji konstitusionalitasnya adalah undang-undang terkait pemilu. 

"Dari rangkaian tersebut, telah lahir beberapa prinsip hukum baru terkait pemilu. Prinsip baru itu lahir dari berbagai terobosan hukum baik menyangkut hukum materil maupun hukum formil dalam penyelesaian sengketa pemilu," sebut Suhartoyo.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement