REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah 18 tahun Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum kunjung disahkan. Sejak diinisiasi pada 2004, RUU PPRT sudah beberapa kali masuk program legislasi nasional (Prolegnas) di DPR RI.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej yang juga dari Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT mengungkapkan, mandeknya proses tersebut lantaran masih tertahan di DPR dan belum diparipurnakan untuk menjadi RUU usulan inisiatif legislatif. Diketahui, RUU PPRT merupakan inisiatif dari Baleg, namun dalam prosedurnya, DPR RI yang mengusulkan dan pemerintah bersifat pasif.
"RUU PPRT ini inisiatif baleg, namun sampai sekarang ini belum disahkan di Paripurna sebagai inisiatif DPR. Kami pemerintah bersikap pasif, kami baru bisa membahas secara prosedural jika DPR mengesahkan itu sebagai inisiatif DPR," jelasnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menekankan, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi mendorong DPR untuk segera memparipurnakan RUU PPRT. Pasalnya, jika pemerintah aktif mendorong DPR memparipurnakan RUU PPRT dikhawatirkan akan terjadi cacat prosedural. "Nanti di-MK kan lagi, kita kena lagi," ucap Eddy.
Padahal, sambung Eddy, hanya butuh waktu dua pekan pengesahan RUU PPRT bila urusan paripurna di legislatif sudah rampung. Sebab, pemerintah memandang RUU ini sangat penting untuk perlindungan para pekerja rumah tangga atau PRT.
Hal ini lantaran, dengan UU PPRT, para PRT bakal mendapat jaminan keamanan hak kerja di dalam negeri. Aturan ini juga menjadi nilai tambah pekerja domestik Indonesia yang menjadi asisten rumah tangga di luar negeri.
Selama ini tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai PRT di luar negeri seringkali mendapat tindak kekerasan dan ketidakadilan dalam bekerja.Namun, Indonesia sulit untuk menuntut perlindungan karena tidak adanya aturan yang menjamin keamanan para PRT di Indonesia.
"Jika memilki Undang-Undang ini, kita bisa menuntut negara lain untuk memperlakukan tenaga kerja kita seperti yang negara lakukan," kata Eddy.
Hadir dalam kesempatan yang sama, Sekertaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, saat RUU PPRT menjadi produk hukum tentunya akan menjadi landasan dalam mengatur tata kelola ketenagakerjaan. Anwar mengungkapkan, selaama ini persoalan PRT di Indonesia terkait aspek sosiologis dan sosio kultural.
"UU PPRT menjadi landasan hukum terkait PRT. Kalau dilihat istilahnya (PRT) kan beda ada yang sebut pembantu, asisten, itu pun membuat persepsi berbeda-beda dan membuat treatment berbeda. Sehingga harus ada kejelasan dan kepastian hukum jadi pegangan untuk menyelesaikan persoalan terkait PRT," terang Anwar.
"RUU ini pun dasar yang kita gunakan, karena jelas di UU 1945 setiap warga negara mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan sesuai harkat dan martabat hak asasinya sebagai manusia. Kita ingin lahirnya UU ini permasalahan pekerjaan domestik punya dasar hukum yang jelas," sambungnya.
Perihal pengupahan PRT, sambung Anwar, akan didorong berdasarkan mufakat antara pemberi kerja dengan ART itu sendiri. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan aspek sosiologis di Indonesia.
"Sehingga kami dorong ini adalah nanti lebih kepada mufakat antara pemberi kerja dengan pekerja itu sendiri ini tercapai kata mufakat. Ini kan aspek sosiokultural yang sebelumnya kita sangat kuat," katanya.
Sementara Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya mengatakan, pentingnya disahkan RUU PPRT karena adanya perbedaan antara PRT dan pekerja di industri. Pekerja Industri memiliki nilai upah hingga jam kerja yang lebih terukur.
Sementara PRT memiliki besaran upah dan jam kerja yang cenderung 'fleksibel'. Hal ini lantaran sebagian besar PRT di Indonesia kurang terlatih atau unskilled. Berbeda dengan di negara lain seperti Jepang atau Eropa dimana PRT memiliki keahlian sehingga mendapatkan upah yang sangat tinggi.
"Begitu juga dengan upah. Upahnya dia sangat relatif. Itu berbeda dengan negara industri, Jepang, Eropa, karena mereka skilled labor. Misalnya orang yang mengasuh bayi, atau balita, manula, itu besar sekali gajinya," jelasnya.
Ketua Institusi Sarinah Eva Sundari berpendapat bahwa RUU ini adalah bentuk pengakuan negara yang akan memberikan keuntungan sosial bagi pekerja. “Rekognisi negara ini akan membantu teman-teman PRT mendapatkan akses perlindungan sosial, salah satunya BPJS Ketenagakerjaan,” tuturnya.