Kamis 29 Sep 2022 03:14 WIB

KPU Optimistis Polarisasi Berkurang karena Masa Kampanye 2024 Lebih Pendek 

KPU menetapkan masa kampanye untuk Pemilu 2024 selama 75 hari.

Rep: Febryan A/ Red: Ratna Puspita
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merespons prediksi yang dilontarkan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahwa akan kembali terjadi polarisasi masyarakat saat gelaran Pemilu 2024.
Foto: republika/mgrol100
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merespons prediksi yang dilontarkan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahwa akan kembali terjadi polarisasi masyarakat saat gelaran Pemilu 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) merespons prediksi yang dilontarkan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahwa akan kembali terjadi polarisasi masyarakat saat gelaran Pemilu 2024. KPU optimistis keterbelahan masyarakat tidak akan separah Pemilu 2019 karena masa kampanye sudah diperpendek. 

Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, berdasarkan hasil riset sejumlah peneliti, polarisasi tajam terjadi saat Pemilu 2019. Bahkan, para peneliti menyebut lanskap politik elektoral Indonesia kini masih membuka peluang terjadinya polarisasi masyarakat. 

Baca Juga

"Karena itu lah kenapa dalam perumusan masa kampanye, KPU RI akhirnya menetapkan 75 hari masa kampanye," ujar Idham kepada Republika, Rabu (28/9/2022). 

Periode masa kampanye untuk Pemilu 2024 sangat pendek dibandingkan Pemilu 2019 dengan masa kampanye selama lima bulan. Dengan masa kampanye yang singkat, lanjut Idham, KPU berharap polarisasi masyarakat tidak terjadi pada tahun 2024. 

Kalaupun terjadi, KPU berharap keterbelahan itu tidak berlangsung lama. "Kami berharap, di waktu kampanye yang singkat ini, para pendukung pasangan calon dapat lebih rasional mengampanyekan kandidat mereka masing-masing. Lebih ke kampanye program," ujarnya. 

Tim sukses calon presiden, anggota legislatif, maupun kepala daerah diharapkan pula tidak berkampanye dengan cara menghina lawan ataupun menyebar fitnah. "Kami berharap nanti pada waktunya, semua pihak yang terlibat dalam kampanye mohon mematuhi aturan dalam UU Pemilu," katanya. 

Selain memperpendek durasi kampanye, kata Idham, KPU melakukan upaya lain untuk mencegah terjadinya polarisasi masyarakat. Salah satunya dengan cara terus mengedukasi masyarakat soal "politik sehat dan mencerahkan". 

Dengan begitu, diharapkan masyarakat tidak terjebak ataupun ikut-ikutan dalam kampanye yang bisa memicu polarisasi. Dengan semua upaya tersebut, Idham optimistis bahwa polarisasi bisa dicegah atau setidaknya berkurang saat Pemilu 2024 mendatang. 

"Pemilu adalah kepentingan bangsa dan negara Indonesia, maka kita sebagai anak bangsa tentunya harus optimis memandangnya," ungkapnya. 

Sebelumnya, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja memprediksi polarisasi atau pembelahan masyarakat kemungkinan akan kembali terjadi saat gelaran Pemilu 2024. Pemicunya diyakini karena ada persaingan ketat antarcalon presiden. 

Bagja pun meminta para Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk tidak ikut terbelah. Jangan pula ASN ikut memperkeruh situasi sehingga membuat polarisasi jadi semakin parah. 

"Ke depan mungkin pembelahan akan terjadi. Kami inginkan ASN tidak ikut dalam polarisasi pembelahan jika terjadi kompetisi yang sangat ketat pada Pilpres mendatang," kata Bagja saat membuka Rakornas Bawaslu terkait netralitas ASN, yang dipantau secara daring dari Jakarta, Selasa (27/9/2022). 

Menurut dia, meningkatnya eskalasi politik antar calon presiden bakal dipicu oleh konten-konten di media sosial. Karena itu, pihaknya memberikan perhatian serius pada media sosial. 

Bawaslu berupaya mencegah penyebaran konten hoaks, fitnah, maupun kampanye hitam terkait salah satu calon di media sosial. Selain itu, diupayakan pula pencegahan agar ASN tidak melakukan pelanggaran netralitas di jagat maya. 

"Kami harapkan ASN tidak termasuk buzzer yang kemudian membuat fitnah, hoaks dan lain-lain. Ini yang perlu kita jaga ASN ke depan," ujar Bagja. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement