Selasa 20 Sep 2022 01:00 WIB

Besaran BLT tak Mampu Imbangi Dampak Ekonomi dari Kenaikan BBM

Kerugian berkali lipat harus ditanggung oleh masyarakat.

Rep: Amri Amrullah / Red: Agus Yulianto
Seorang ibu menggendong anaknya saat penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM.
Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Seorang ibu menggendong anaknya saat penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII DPR RI Nur Azizah Tamhid menilai, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tetap saja memberatkan rakyat kecil. Walaupun pemerintah sudah menyiapkan Bantuan Tunai Langsung (BLT) BBM yang diambil dari Kas Negara senilai Rp12,4 triliun, tapi itu bukanlah solusi.

"Meskipun pemerintah menyalurkan BLT, hal tersebut hanyalah sementara. BLT tersebut tidak sebanding dengan dampak jangka panjang yang dirasakan masyarakat kecil," kata dia, Senin (19/9/2022).

Sebab, besaran BLT BBM hanya senilai Rp 600 ribu. Dan itu akan dibagikan kepada 20,65 juta masyarakat Indonesia yang terdaftar dalam DTKS yang diberikan dalam dua tahap dalam rentang 4 bulan.

"Namun yang menjadi permasalahan, BLT itu hanya bersifat sementara. Dana yang diberikan tidak sebanding dengan dampak jangka panjang yang akan timbul," kata Nur Azizah.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menambahkan, kenaikan harga BBM bersubsidi Pertalite dan Solar terjadi di saat kondisi ekonomi global tidak menentu. Akhirnya, kerugian berkali lipat harus ditanggung oleh masyarakat.

Padahal, menurutnya, hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi. Sehingga tidak menyebabkan volume penggunaannya melonjak tajam.

“(Kenaikan harga BBM) ini tentu mencekik masyarakat kecil," ucap dia. 

Seperti, nelayan di beberapa wilayah yang sudah menggantungkan mata pencaharian yang pas-pasan, mengandalkan subsidi BBM. Dengan kenaikan (harga BBM) ini, mereka harus berhenti melaut, karena pengeluaran menjadi lebih besar dari pendapatan. 

"Kenaikan harga BBM ini tidak membuat harga ikan juga naik," ujar Nur Azizah.

Menurut dia, pemerintah harus memiliki pertimbangan yang matang akan dampak yang ditimbulkan dari harga BBM naik. Terdapat hampir 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh orang kaya, sedangkan subsidi LPG sebesar 76 persen justru dinikmati oleh masyarakat mampu.

Adapun masyarakat miskin dan rentan yang merasakan subsidi listrik hanya sekitar 26 persen. Hal ini menunjukkan penyaluran subsidi energi tidak tepat sasaran. Untuk itu, menurutnya, pemerintah perlu segera melakukan koreksi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Koreksi data ini agar BBM bersubsidi seperti Solar dan Pertalite hanya dijual kepada masyarakat kurang mampu, pelaku ekonomi kecil dan transportasi umum. Dengan berkurangnya volume BBM bersubsidi namun tepat sasaran, maka BBM bersubsidi tersebut tidak perlu dinaikkan harga jualnya.

"Hal ini penting, sehingga rakyat kecil dan pelaku usaha kecil tetap dapat membeli BBM dengan harga murah. Dengan demikian juga akan berdampak pada aktivitas ekonomi mereka dapat bangkit lebih kuat," papar Nur Azizah.

Selain itu, saat ini, banyak beredar isu penyelundupan BBM bersubsidi beberapa waktu lalu di Jawa Tengah, Polri baru saja me ringkus penimbun sekaligus pengoplos puluhan ton BBM bersubsidi. Hal ini menimbulkan potensi kerugian negara yang juga tidak sedikit, bahkan ditaksir hingga Rp 11 miliar.

“Penangkapan yang dilakukan Polri ini menjadi bukti adanya penyelundupan BBM. BBM yang disubsidi dari uang rakyat melalui pajak itu justru dinikmati oleh sektor industri," ucap Nur Azizah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement