REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani angkat bicara soal sidang perdana kasus HAM berat Paniai Berdarah pada 21 September 2022 di Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Dia menyatakan sidang kali ini sebagai ujian bagaimana penegakkan hukum atas pelanggar HAM.
"Sidang perkara ini akan menjadi test-case baru tentang penegakan hukum terkait pelanggaran HAM," kata Arsul kepada Republika, Ahad (18/9).
Dalam sidang ini, Asrul berharap, agar majelis hakim, penuntut umum, maupun tim penasihat hukum dapat menunjukkan kepada publik bahwa proses peradilannya terbuka dan adil. Azas itu berlaku baik kepada publik maupun terdakwa.
"Sebagai anggota Komisi 3 yang bidangi juga soal penegakan hukum, saya berharap sidang kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini bisa berlangsung terbuka dan media bisa mengikutinya secara seksama," ujar Arsul.
Walau demikian, Arsul mengimbau, media agar tak mengembangkan pemberitaan yang bersifat trial by press. Ia mengajak media memberitakan sidang Paniai secara berimbang. Ia juga tak sepakat bila sidang Paniai disiarkan langsung.
"Cukup terbuka untuk umum, tidak usah berlebihn dengan live segala macam. Kita proporsional saja, harus seimbang antara hak publik untuk tahu jalannya sidang dengan asas praduga tak bersalah," ucap Arsul.
Diketahui, Pengadilan Negeri (PN) Makassar merilis jadwal sidang perdana kasus HAM berat Paniai Berdarah pada 21 September 2022. Agenda sidang itu berupa pembacaan surat dakwaan terhadap satu orang terdakwa Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu.
Isak didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Isak juga diancam pidana dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.