Sabtu 17 Sep 2022 14:18 WIB

Kemenpan-RB Sebut Pemda Keberatan Honorer Jadi ASN, Ungkap Ada 'Jatah Preman'

Pemda keberatan menanggung beban biaya gaji PPPK yang lebih besar dari honorer.

Rep: Febryan. A/ Red: Andri Saubani
Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja mulai 2023 sudah tidak diperkenankan untuk mempekerjakan tenaga honorer. (ilustrasi)
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja mulai 2023 sudah tidak diperkenankan untuk mempekerjakan tenaga honorer. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) mengungkap kendala dalam menerapkan kebijakan penghapusan tenaga honorer dan mengalihkan statusnya menjadi ASN Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Salah satunya adalah keberatan pemerintah daerah menanggung beban biaya gaji PPPK, yang lebih besar daripada honorer. 

Menpan-RB Abdullah Azwar Anas menjelaskan, besaran gaji PPPK memang mengacu pada upah minimum regional (UMR). Sedangkan honorer, besaran gajinya tak diatur sehingga bebas ditetapkan oleh pemda masing-masing. 

Baca Juga

"Teman-teman bupati teriak sejak PPPK ini harus digaji setara UMR. Begitu gajinya sesuai UMR dan dibebankan ke daerah, maka melonjak anggaran pemda untuk membiayainya," kata Anas dalam rapat bersama Komite I DPD RI, dikutip Sabtu (17/9/2022). 

Anas menjelaskan, sebelum adanya status PPPK, pemda masih sanggup menyediakan anggaran gaji. Tapi, begitu hadir PPPK, anggaran pemda tersedot sampai 30 persen untuk gaji pegawai. 

"Ini yang jadi masalah. Akibatnya, banyak jalan rusak di daerah karena anggarannya sudah tersedot ke gaji PPPK," ujar eks Bupati Banyuwangi ini.

Jatah preman 

Deputi Bidang SDM Aparatur Kemenpan-RB Alex Denni menambahkan, pemda sebenarnya tak mempersoalkan status pekerja honorer atau PPPK. Tapi, mereka memang keberatan soal pembiayaan gaji PPPK yang sesuai UMR. 

Sebagai solusinya, ujar dia, Kemenpan-RB kini sedang meninjau ulang besaran gaji PPPK. Besaran gaji PPPK yang berlaku saat ini mengacu pada tabel level jabatan. 

"Kalau tabel (gaji) itu kita ganti dengan range, maka rentang gajinya bisa kita tarik agak ke bawah. Apakah itu Rp 500 ribu, Rp 1 juta, atau Rp 1,5 juta, nanti kita sepakati," ujar Alex dalam kesempatan sama.

"Kalau besaran gaji ini bisa disepakati, tentu tidak ada isu lagi," imbuhnya. 

Menurut Alex, mengurangi besaran gaji ini akan membuat pemda tak lagi keberatan mengalihkan status honorer menjadi PPPK. Hal ini pun bisa mengatasi persoalan penyelewengan gaji. Sebab, pihaknya menemukan banyak honorer yang gajinya dipotong untuk "jatah preman". 

"Persoalan gaji honorer ini, mohon maaf, banyak sekali moral hazard-nya. Gaji honorernya Rp 300 ribu, tapi dicatat Rp 500 ribu. Ada Rp 200 ribu 'jatah premannya'," ungkap Alex. 

Alex menambahkan, ketika pemda sudah mau mengubah status honorer menjadi PPPK, maka persoalan suap juga bisa diatasi. Selama ini, pihaknya menemukan fenomena orang harus bayar untuk bisa jadi honorer. 

"Banyak orang ditawarkan masuk jadi honorer, lalu ada uang pendaftarannya. Ini kan sangat luar biasa moral hazard-nya," kata Alex. 

Alex menuturkan, pengaturan soal PPPK ini akan dimuat dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Kesejahteraan PPPK. Beleid ini sedang dibahas bersama dengan semua pemangku kepentingan. 

Untuk diketahui, pemerintah pusat lewat UU ASN tahun 2014 sudah menyatakan bahwa ASN hanya ada dua jenis, yakni PNS dan PPPK. Sedangkan larangan merekrut tenaga honorer baru sudah ditetapkan pemerintah pusat sejak tahun 2005 silam. 

Kendati demikian, pemerintah daerah terus saja merekrut honorer baru. Tahun 2012, tercatat ada sekitar 438 ribu tenaga honorer di seluruh Indonesia. Kini, jumlahnya telah berlipat ganda menjadi sekitar 1,2 juta hingga 1,3 juta orang.

Kini, pemerintah pusat mulai menata keberadaan tenaga honorer yang kadung jutaan orang itu. Tahun ini, pemerintah pusat telah menetapkan 530 ribu lowongan atau formasi dalam seleksi PPPK.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement