Rabu 07 Sep 2022 20:40 WIB

Menggagas Kurikulum Berbasis Adab dan Akhlak

Siswa kelas tinggi lebih banyak melakukan perundungan daripada siswa kelas rendah.

Ilustrasi Lindungi Santri
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Lindungi Santri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nurul Badruttamam, Sekretaris Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa (PDPAB) MUI

Ada yang sedang tidak baik-baik saja dengan akhlak bangsa kita. Setidaknya itulah yang saat ini menggelisahkan pikiran saya saat mendengar kasus perundungan yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Tangerang. Kasus ini mengemuka setelah nyawa salah satu santri melayang, pelakunya bahkan teman-temannya sendiri, anak-anak di bawah umur yang usianya masih belasan tahun.

Padahal belum lama kita juga mendengar kasus serupa, ramai diperbincangkan di media. Seorang anak meninggal dunia setelah kasus perundungan seperti ini bukan yang pertama kali terjadi.

Betapa seringnya kita mendengar adanya perilaku serupa di sekolah, di pesantren di lembaga pendidikan yang membuat kita tak habis pikir bagaimana mungkin anak-anak usia belasan bisa melakukan tindakan sedemikian rupa hingga menghilangkan nyawa temannya. Krisis akhlak betul-betul di depan mata.

Rentetan kejadian perundungan agaknya perlu kita cermati secara serius, jangan sampai pembiaran terhadap masalah ini akan menjadi bom waktu di kemudian hari. Benang kusut terjadinya perundungan ini harus kita urai satu per satu, jangan sampai lembaga pendidikan baik sekolah maupun pesantren kembali menjadi lahan subur terjadinya perundungan. Lembaga pendidikan idealnya harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bukan hanya untuk menuntut ilmu, tetapi untuk bertumbuh menjadi sebaik-baiknya manusia yang berakhlak.

Perundungan di Indonesia

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengemukakan setidaknya terdapat 119 kasus perundungan pada anak sepanjang tahun 2020. Jumlah ini terus mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 30-60 kasus per tahun.  Barangkali data ini hanya yang tampak di permukaan saja, bisa jadi angka yang sebenarnya jauh lebih besar, mengingat tidak banyak korban yang berkenan membuat pengakuan.

Bahkan, banyak sekali perundungan yang justru dilakukan oleh anak-anak di sekolah. Kenyataan ini seperti menegaskan sebuah riset yang dilakukan Programmer for International Student Assesment (PISA) pada 2018 yang menunjukkan, angka perundungan murid di Indonesia cukup tinggi mencapai 41,1 persen yang sukses menempatkan Indonesia pada posisi kelima dari 78 negara yang anak didiknya mengalami perundungan di sekolah.

Lebih lanjut dalam sebuah artikel penelitian yang dikemukakan Arina Mufrihah memaparkan pola naiknya perundungan yang terjadi di sekolah. Perundungan terus mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia dan naiknya kelas. Artinya, siswa kelas lebih tinggi lebih banyak melakukan perundungan dibanding siswa pada kelas rendah.

Perundungan sendiri seolah menjadi hal yang terbiasa terjadi. Apalagi sejak mengenal istilah terbawa perasaan (baperan), acapkali lingkungan sekitar menormalisasi adanya perundungan. Di Institusi pendidikan, kita sering melihat budaya perundungan yang dilakukan secara turun temurun melalui masa orientasi sekolah atau pengenalan kehidupan kampus.

Perundungan yang terjadi pun beraneka ragam dari kekerasan fisik hingga kekerasan verbal. Pelakunya bisa jadi dulunya juga korban, dan terus seperti itu bagaikan siklus.

Berbagai upaya penyelesaian akibat terjadinya kasus perundungan pun dilakukan. Kebanyakan kasus-kasus yang telah memakan korban hingga hilangnya nyawa seseorang diselesaikan dengan jalur kekeluargaan.

Penyelesaiannya pun lebih terkesan dilakukan secara personal daripada secara sistemik. Jalur kekeluargaan ditempuh daripada jalur hukum, mengingat pelaku maupun korban keduanya masih di bawah umur. Tanpa bisa kita pungkiri, penyelesaian kasus dengan cara ini hanya akan selesai dari permukaan saja, sedangkan jauh dari itu, akar rumput dari masalah perundungan tidak pernah benar-benar tersentuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement