Rabu 07 Sep 2022 01:37 WIB

Terdakwa Kasus Migor Anggap Dakwaan Jaksa Salah Alamat

Kuasa hukum Master Parulian nilai dakwaan JPU salah alamat.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bayu Hermawan
Teks Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor (kedua kanan)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Teks Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor (kedua kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak mentah dinilai salah alamat. Kelangkaan minyak goreng dinilai akibat inkonsistensi kebijakan Kemendag. 

Kuasa hukum Master Parulian, Juniver Girsang menyatakan kliennya menjadi korban inkonsistensi kebijakan Kemendag dalam mengatasi masalah kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng (migor) di masyarakat. Kebijakan itu mewajibkan produsen/eksportir CPO memenuhi kebutuhan Migor dalam negeri (DMO) dengan harga tertentu (DPO) sebagai syarat untuk memperoleh persetujuan ekspor (PE) CPO.

Baca Juga

"Namun peraturan atau keputusan yang melandasinya cepat sekali berubah dimana dalam kurun waktu kurang dari dua bulan Kemendag menerbitkan Permendag no 02/2022, Permendag no 08/2022, Kepmendag no 129/2022 dan Kepmendag no 170/2022," kata Juniver dalam persidangan tersebut.  Juniver menyatakan dakwaan JPU terhadap Master Parulian terbilang janggal. 

"Keempat peraturan tersebut per tanggal 20 Maret 2022 telah dicabut dan tidak berlaku lagi, namun anehnya peraturan tersebut dijadikan dasar bagi JPU untuk menuduh terdakwa melakukan korupsi," lanjut Juniver. 

Juniver menyatakan timbulnya kelangkaan migor didasarkan oleh ketentuan Kemendag yang tidak konsisten. Kondisi itu dianggap menimbulkan kerugian kepada produsen migor termasuk Wilmar Grup mencapai lebih dari Rp1,6 triliun. Sehingga ia menegaskan dakwaan menimbulkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara terhadap kliennya tidaklah tepat. 

"Inilah yang mengakibatkan distorsi di pasar, dengan demikian sangat aneh dan tidak bisa diterima secara rasional karena kesalahan kebijakan oleh Kemendag membuat klien kami menjadi korban dari kebijakan tersebut," ucap Juniver. 

Juniver meyakini JPU tidak cermat karena tak menguraikan bagaimana kliennya melanggar ketentuan dalam UU Perdagangan, Permendag no 19/2021, Permendag no 08/2022, Kepmendag no 129/2022 dan Kepmendag no 170/2022. 

"Peraturan perundang-undangan yang dituduh dilanggar oleh terdakwa Tumanggor tersebut tidak memuat sanksi pidana," tegas Junimart.

Atas dasar itulah, Juniver mendalilkan dalam eksepsi bahwa dakwaan error in persona karena terdakwa bukan pejabat di Kemendag yang berwenang menerbitkan PE. Kliennya disebut juga bukan pemohon izin ekspor CPO dan bukan eksportir penerima PE CPO. 

"Terdakwa juga tidak pernah menerima penugasan dari Wilmar Group untuk mengajukan permohonan izin ekspor CPO atas nama PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Multi Nabati Sulawesi dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia," ungkap Juniver. 

Diketahui, JPU menjerat mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indra Sari Wisnu Wardhana, mantan tim asistensi Menko Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley Ma; dan General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang dalam kasus ini. Mereka diduga memperkaya beberapa perusahaan hingga merugikan negara Rp18,3 triliun. 

JPU mendakwa Indra, Lin Che Wei, Master, Stanley, dan Pierre melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement