REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai dinamika internal yang terjadi kali ini antara Suharso Monoarfa dan Muhammad Mardiono berbeda dengan konflik yang pernah terjadi sebelumnya di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Konflik yang terjadi di PPP sebelumnya diawali karena perbedaan pilihan politik di Pilpres 2014.
Saat itu, kubu Suryadharma Ali pro ke pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sementara kubu Romahurmuziy mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. "PPP itu memang sejak awal faksi politiknya banyak, ya, kalau melihat konflik internal mereka itu tidak terlepas dari perbedaan dukung mendukung politik di pilpres, Suryadharma Ali beda dengan Romy, kali ini konflik PPP itu terkait slip of the tongue (selip lidah)," kata Adi kepada Republika, Senin (5/9/2022).
Kesalahan Suharso yang dianggap fatal tersebut kemudian menjadi momentum kubu Mardiono untuk menggeser Suharso. Dualisme tersebut kemudian kembali terjadi dalam sebuah keputusan mukernas yang digelar di Banten, Ahad (4/9/2022).
"Model konfliknya agak beda, sebelumnya itu konflik karena dukung mendukung Jokowi atau Prabowo, sekarang ya karena soal slip of the tongue (selip lidah) ini," ujarnya.
Ia memprediksi konflik internal di PPP kali ini akan panjang, rumit, dan berimplikasi persiapan PPP menghadapi pemilu 2024. "Suharso tentu punya kepentingan mempertahankan posisinya sebagai ketua umum yang diturunkan di tengah jalan, Mardiono tentu juga punya kepentingan karena sudah terlanjur disebut sebagai PLT PPP melalui mukernas kemarin. Efek dari itu semua tentu mengganggu stabilitas internal PPP baik menghadapi pemilu atau pun koalisi yang sudah dibangun dengan KIB (Koalisi Indonesia Bersatu)," ungkapnya.
PPP diketahui mengalami beberapa kali dualisme kepengurusan. Selain dualisme antara Suryadharma Ali dan Romahurmuziy pada 2014, dualisme kepengurusan berlanjut antara Djan Faridz dan Romahurmuziy. Namun, dualisme keduanya akhirnya berakhir pada era kepemimpinan Suharso.