REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa masih terus berupaya mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos). Lembaga antirasuah ini mengaku, kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan.
"Sejauh ini masih dilakukan proses penyelidikan," kata Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri di Jakarta, Senin (5/9/2022).
Ali mengatakan, KPK masih berupaya untuk meningkatkan kasus itu ke tahap penyidikan. Dia menyebut, butuh waktu agar dapat menentukan tersangka dalam kasus ini.
"Butuh waktu untuk menentukan langkah hukum berikutnya dari hasil penyelidikan dimaksud," ujarnya.
Sebelumnya, KPK menyampaikan, ingin segera menyelesaikan pengembangan kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos). Lembaga antirasuah ini pun masih menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) soal kerugian negara dalam kasus tersebut.
"Kami sebenarnya maunya cepat. Namun demikian, partner kita dalam hal penegakan tindak pidana korupsi yang sebagai ahli penghitung kerugian negara juga butuh waktu juga dalam hal menghitung," kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto di Jakarta, Jumat (26/8/2022).
Karyoto mengungkapkan, KPK secara aktif terus berkoordinasi dengan BPKP untuk merampungkan penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi pengadaan bansos itu. Namun, dia menyebut, penghitungan kerugian negara membutuhkan proses yang panjang dan waktu cukup lama.
"Nah, ini kalau kita awam sebagai penyidik sebenarnya satu minggu selesai, tapi kenyataannya satu tahun juga belum selesai gitu loh," ujar Karyoto.
"Ini yang dikatakan kendala klasik. Namun demikian, kami tidak bosan-bosan untuk selalu berkoordinasi dengan partner kita baik BPK maupun BPKP," tambahnya menjelaskan.
Dalam penyelidikan kasus bansos tersebut, KPK sempat meminta keterangan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara pada 6 Agustus 2021. Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, lembaganya berupaya mengembangkan kasus dugaan korupsi pengadaan bansos dengan meminta keterangan beberapa pihak terkait lainnya.
KPK mengungkapkan bahwa fakta-fakta yang muncul saat persidangan Juliari dapat dijadikan pintu masuk untuk mengusut keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus bansos.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 23 Agustus 2021 telah memvonis Juliari dengan pidana penjara selama 12 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Bekas bendahara umum PDIP itu juga wajib membayar uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar.
Selain itu, juga dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok. Dalam perkara tersebut, Juliari selaku Menteri Sosial periode 2019-2024 dinyatakan terbukti menerima uang sebesar Rp 1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp 1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja, serta uang sebesar Rp 29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain sehingga totalnya mencapai Rp 32,482 miliar.
Tujuan pemberian suap itu adalah karena Juliari menunjuk PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude yang diwakili Harry Van Sidabukke, PT Tigapilar Agro Utama yang diwakili Ardian Iskandar, serta beberapa penyedia barang lainnya menjadi penyedia dalam pengadaan bansos sembako.
Uang suap itu diterima melalui perantaraan Matheus Joko Santoso yang saat itu menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan bansos sembako periode April-Oktober 2020 dan Adi Wahyono selaku Kabiro Umum Kemensos sekaligus PPK pengadaan bansos sembako Covid-19 periode Oktober-Desember 2020.
Banyak pihak yang disebut terlibat dalam kasus itu, mulai dari elit politik hingga anggota parlemen. Namun, KPK sampai saat ini belum menetapkan tersangka baru dalam kasus itu.