REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mendukung percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Dia berharap UU PRT bisa menciptakan hubungan kerja kondusif tanpa diskriminasi antara PRT dan pemberi kerja.
"Bersama Kementerian lain dan DPR, Kemnaker memiliki keinginan yang sama untuk dapat mempercepat RUU PPRT ini menjadi Undang-Undang, untuk memberikan pelindungan bagi tenaga kerja informal khususnya pekerja rumah tangga dengan tetap memperhatikan kondisi sosial masyarakat dan peraturan perundang-undangan lainnya," kata Ida dalam rapat Gugus Tugas RUU PPRT yang digelar Kantor Staf Presiden di Jakarta, Selasa (30/8/2022).
Ida menambahkan, saat ini masih banyak masalah yang dialami PRT. Di antaranya adalah jam kerja PRT lebih lama dari pekerja umum, di mana 63 persen PRT bekerja tujuh hari sepekan. Selain itu, PRT tidak memiliki perjanjian yang jelas atau kontrak kerja, serta kurangnya jaminan sosial dan pelindungan asuransi.
Sejatinya, kata Ida, pemerintah, telah membuat regulasi untuk melindungi PRT melalui Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang PPRT. "Namun adanya RUU PPRT dinaikkan statusnya menjadi Undang-Undang ini, menjadi sangat penting dan sangat efektif untuk memberikan pelindungan dan payung hukum yang lebih kuat lagi bagi PRT," ujarnya.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyebut RUU PPRT terdiri atas berisi 12 Bab dan 34 pasal. Meski tempat kerja PRT berada di ranah privat, tapi pasal-pasal dalam RUU ini melihatnya sebagai ranah publik.
Menurut Edward, perlindungan PRT dilihat sebagai ranah publik karena kata 'perlindungan' memiliki dua esensi. Pertama, seorang PRT mendapatkan hak yang semestinya ia dapatkan. Kedua, dia melaksanakan kewajiban itu tanpa paksaan apa pun atau tanpa suatu tekanan.
"Karena itu, ketika diberi judul perlindungan PRT, maka mau tidak mau, suka tidak suka, ini ada adalah aspek hukum privat yang berdimensi publik, " ujar Edward.