REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar mengumpulkan praktisi pangan dalam upaya melakukan langkah-langkah persiapan memecahkan soal krisis pangan pada Selasa (30/8/2022). Muhaimin mengatakan, ini karena ketidakpastian situasi dunia mulai pandemi yang belum selesai hingga konflik Rusia-Ukraina yang mengancam ketahanan pangan berbagai negara.
"Hari ini, saya mengundang Bapak Ibu semua para ahli dan praktisi pangan untuk berpikir dan memecahkan soal pangan. Saya berharap dan percaya, forum diskusi hari ini kiranya akan menemukan titik-titik masalah pokok-pokok masalah dan tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa," kata Muhaimin dalam keterangan yang diterima wartawan, Selasa (30/8/2022).
Kondisi ini, kata dia, juga sudah beberapa kali diingatkan Presiden agar Indonesia serius terhadap potensi krisis pangan. Muhaimin mengatakan, data angka prevalensi ketidakcukupan pangan (Prevalence of Undernourishment/PoU) dari BPS tahun 2021 sebesar 8,49 persen. Angka tersebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski ada perbaikan pada 2018 dan 2019, tetapi ketidakcukupan pangan meningkat kembali pada 2020, akibat efek pandemi. Peningkatan kekurangan pangan sejalan dengan peningkatan angka kemiskinan.
Sementara itu, data Global Food Security Index (GFSI) meletakkan ketahanan pangan Indonesia pada 2021 berada di bawah Singapura. Ketahanan pangan Indonesia pada 2021 pada level 59,2, sedangkan Singapura di level 77,4 dan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Ketahanan pangan Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Karena itu, dia menilai urgensi nyata agar Indonesia segera melakukan antisipasi dalam negeri. Selain antisipasi, rumusan dan kebijakan pun harus segera ditempuh.
"Saya juga bertanya-tanya. Dimana blind spot kita dalam hal pangan, dimana gap dan kesenjangan yang membuat masih belum hebat atau kita masih rawan krisis pangan," ujar Cak Imin.
Sejumlah pakar yang hadir dalam symposium tersebut adalah Rektor IPB Arif Satria, Pendiri Core Indonesia Hendri Saparini, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu Andi Irawan, Thomas Darmawan dari Apindo dan Jurnalis Kompas Andreas Maryoto.