REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Dr T Gayus Lumbuun, SH, MH menyatakan, kasus pembunuhan terhadap Brigadir J oleh mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki institusi Polri. Ia pun menilai kasus Ferdy Sambo cukup menarik dikaji para akademisi ilmu hukum.
"Kasus Irjen Pol Ferdy Sambo (FS), menjadi isu besar di masyarakat yang berimplikasi pada berbagai pihak, baik masyarakat maupun institusi Polri. Eskalasi suara publik yang menuntut hak dan keadilan berhasil mengungkap kasus tersebut hingga pihak kepolisian menetapkan puluhan anggota kepolisian sebagai pelanggar etik, dan beberapa anggota kepolisian ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Prof Gayus dalam seminar nasional Kajian Hukum–Legal Justice bertema ‘Bisakah Ferdy Sambo Bebas?’ yang digelar Program Doktoral Ilmu Hukum Angkatan 11 Unkris, Selasa (30/8).
Seminar yang digelar secara hybrid di pendopo Kampus Unkris dan melalui zoom meeting tersebut menghadirkan narasumber Prof Gayus dan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Prof (HC) Dr Otto Hasibuan, SH, MCL, MM.
Seminar nasional yang terbuka untuk umum tersebut menjadi bagian dari upaya Unkris memberikan sumbangan pemikiran dan pandangan terkait kasus Ferdy Sambo dari sisi akademis. Melibatkan ribuan peserta dari berbagai kalangan, seminar nasional dimoderatori langsung oleh Wakil Rektor 3 Unkris Dr Parbuntian Sinaga dan Ketua Lembaga Pengembangan Kreativitas dan Kebangsaan (LPKK) Unkris Dr Susetya Herawati.
Prof Gayus menilai, meski sudah mengakui sebagai pelaku utama pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo sebenarnya memiliki peluang untuk 'bebas' dari hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Peluang ini bisa diperoleh dengan menjadi justice collaborator.
Dalam posisinya sebagai justice collaborator, lanjut Prof Gayus, Ferdy Sambo harus berani membongkar borok yang ada di institusi yang menaunginya sejelas-jelasnya, setransparan mungkin, dan sejujur-jujurnya. Pasalnya, sejak kasus Ferdy Sambo bergulir, isu seputar ketidakberesan institusi Polri seperti munculnya Geng 303 terus bergulir dan itu berhasil meyakinkan publik bahwa ada yang tidak beres pada institusi Polri.
"Meski dengan pengakuan Ferdy Sambo sebagai pelaku utama pembunuhan Brigadir J, sebenarnya yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan menjadi justice collaborator. Ferdy Sambo bahkan bisa dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55-56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal mati atau seumur hidup atau penjara 20 tahun,” jelas Prof Gayus.
Memang, lanjut Prof Gayus, persoalan Ferdy Sambo menjadi justice collaborator ini tidak akan mengurangi 'rasa sakit hati' dan kepedihan keluarga almarhum Brigadir J. Namun jika itu bisa dilakukan maka kebermanfaatan hukum akan sedemikian besar yang bisa dirasakan oleh masyarakat luas.
Soal justice collaborator, Prof Gayus mengatakan bahwa hukum nasional telah mengaturnya sebagai norma hukum yang diatur melalui UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang LPSK, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung RI, KPK dan LPSK tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, Saksi Pelaku yang Bekerja Sama.
Prof Gayus mengakui, perkembangan proses hukum di tingkat penyelidikan dapat dikatakan menjadi keberhasilan kelompok masyarakat dari berbagai unsur termasuk advokat yang mendapatkan kuasa untuk menangani kasus. Kelompok masyarakat umum dalam konteks pemikiran Prof Gayus, dapat disebut sebagai social justice warrior atau pejuang keadilan sosial bersama para advokat yang bertindak sebagai kuasa hukum korban yang telah dengan tegas dan berani mengungkapkan berbagai informasi termasuk fakta-fakta yuridis yang ditemukan.
Adapun Ketua Umum Peradi Prof Otto Hasibuan mengakui, banyak publik yang terjebak dalam kasus Ferdy Sambo dan menilai bahwa kasus telah selesai dengan pengakuan Ferdy Sambo sebagai pelaku pembunuhan. "Begitu hebatnya pemberitaan sehingga kasus yang sebenarnya baru dimulai, seolah-olah telah sampai pada akhir cerita," ujarnya.
Prof Otto mengingatkan bahwa sejak kasus Ferdy Sambo mencuat telah ada skenario-skenario yang disusun untuk mempengaruhi hukum. Pada skenario pertama yang awalnya diyakini publik, ternyata gugur setelah ada pengakuan jujur dari tersangka pertama, Bharada E. "Namun meski sekarang skenario dua sudah makin menguat, bisa saja muncul skenario ketiga dan seterusnya. Semuanya serbamungkin," tegas dia.
Karena itu, sebagai kaum akademisi Prof Otto mengajak para dosen dan mahasiswa untuk mengkritisi persoalan ini dengan baik. "Kita harus tunggu akhir dari persidangan untuk menyimpulkan kasus ini," jelasnya.
Prof Otto juga sepakat dengan Prof Gayus bahwa substansi hukum mengenal adanya kebermanfaatan di samping keadilan dan kepastian hukum. Tujuannya agar hukum tak sekadar mengadili yang salah dan menjatuhkan hukuman sesuai aturan yang berlaku, tetapi hukum juga harus mampu memberi manfaat untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi. "Harus ada kebermanfaatan dari penuntasan kasus hukum terhadap Ferdy Sambo ini. Kita ingin agar di kemudian hari tidak muncul Sambo-Sambo yang lain,” tegasnya.
Sementara itu, Rektor Unkris Dr Ir Ayub Muktiono mengatakan, seminar nasional dengan topik bahasan Ferdy Sambo ini menjadi bagian dari upaya Unkris untuk memberikan pencerahan hukum kepada masyarakat luas sebagai bagian dari tugas para akademisi. "Kampus punya kebebasan akademis untuk memberikan kajian termasuk dalam kasus Ferdy Sambo ini. Unkris merasa terpanggil memberikan pandangan dari sisi akademis," kata dia.
Ayub memastikan bahwa seminar nasional terkait Ferdy Sambo ini tidak bermaksud mempengaruhi proses hukum yang sedang berlangsung terhadap Ferdy Sambo maupun tersangka lainnya. Namun semata-mata ingin melihat lebih luas aspek hukum dari kasus tersebut dengan maksud mencegah kasus serupa terjadi berulang.