REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meminta masyarakat memberikan masukan terkait isi Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).
Pemerintah secara resmi telah mengusulkan kepada DPR agar RUU tersebut masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Perubahan Tahun 2022.
Kepala Badan Standar, Asesmen, dan Kurikulum Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, terdapat lima tahap dalam proses pembentukan sebuah undang-undang, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
Selama proses pembentukan itu, pemerintah terbuka menerima saran maupun kritik dari publik terkait RUU Sisdiknas. Karena itu, dia meminta masyarakat memberikan masukan.
"Masukan dari publik tersebut merupakan bentuk pelibatan publik yang bermakna sesuai amanat undang-undang dan akan menjadi bahan pertimbangan dalam tahap penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang," kata Anindito dalam siaran persnya, Jumat (26/8).
Masyarakat, kata dia, bisa mencermati semua dokumen terkait RUU Sisdiknas dan memberikan masukan lewat laman https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/.
Anindito menambahkan, selama tahap perencanaan, pemerintah telah mengundang puluhan lembaga dan organisasi untuk mendapatkan masukan terhadap draf versi awal RUU Sisdiknas dan naskah akademiknya. Draf terbaru juga telah dikirimkan kepada berbagai pemangku kepentingan untuk mendapat masukan lebih lanjut.
Kemendikbudristek dalam website resmi RUU Sisdiknas menyatakan bahwa pembentukan UU ini diperlukan karena tiga undang-undang terkait pendidikan yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Salah dua ketentuan yang tak relevan adalah cakupan wajib belajar dan jumlah jam mengajar.
Masih mengutip laman tersebut, sedikitnya terdapat 10 poin penting yang akan diatur dalam RUU Sisdiknas. Pertama, perluasan wajib belajar dari sembilan tahun menjadi 13 tahun. Kedua, pengaturan terkait pendanaan wajib belajar yang memungkinkan masyarakat berkontribusi secara sukarela.
Ketiga, mengubah nomenklatur satuan pendidikan menjadi lebih sederhana dan dapat disesuaikan. Keempat, menerapkan satu standar nasional pendidikan, sehingga murid pesantren bisa lebih mudah pindah ke sekolah umum, begitu pun sebaliknya.
Kelima, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran wajib. Keenam, menetapkan definisi guru yang lebih inklusif, sehingga pengajar PAUD bisa diakui sebagai guru.
Ketujuh, mengatur penghasilan layak bagi guru dan dosen. Kedelapan, memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi untuk menentukan porsi pelaksanaan Tridarma (penelitian, pendidikan, pengabdian).
Kesembilan, penguatan otonomi perguruan tinggi dengan menetapkan semua perguruan tinggi berbentuk badan hukum. Kesepuluh, menyederhanakan standar nasional pendidikan menjadi tiga standar saja, yakni input, proses, dan capaian.