REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Zainut Tauhid Sa'adi mengklarifikasi pidato Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa di kantor KPK yang dinilai merendahkan martabat kiai. Menurut dia, pidato yang viral tersebut menimbulkan salah penafsiran lantaran dipotong.
"Hendaknya masyarakat membaca pidato Ketua Umum PPP Bapak Suharso Monarfa secara utuh, tidak dipotong sebagaimana yang beredar dan menjadi viral di masyarakat. Hal tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran dan keluar dari konteks yang sebenarnya," ujar Zainut dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Ahad (21/8/2022).
Zainut menjelaskan, pidato tersebut disampaikan Suharso pada acara pembekalan 'Politik Cerdas Berintegritas' oleh KPK. Dalam acara itu, kata dia, Suharso menjelaskan tentang fenomena politik transaksional di masyarakat yang melahirkan praktik politik tidak sehat, mahal, dan koruptif yang pada gilirannya berurusan dengan KPK.
"Pidato beliau sama sekali tidak ada niat untuk merendahkan harkat martabat siapa pun utamanya para kiai dan pengasuh pondok pesantren. Beliau semata ingin mendudukkan persoalan yang selama ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat," kata Zainut.
Hal tersebut, lanjut dia, merespons dari pernyataan Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Wawan Wardhiana yang dalam sambutannya menyampaikan agar tidak membenarkan hal yang biasa, tetapi membiasakan hal yang benar.
Menurut dia, pidato tersebut sekaligus merespons pidato Wakil Ketua KPK Pak Nurul Ghufron yang mengatakan PPP harus menjadi partai yang menjunjung tinggi sila satu Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan mengedepankan keuangan yang maha kuasa.
"Beliau ingin mengatakan apakah yang biasa dilakukan oleh para santri, muhibbin dan masyarakat ketika sowan kiai dengan memberi amplop (bisyaroh) itu termasuk perilaku yang membenarkan hal yang biasa, atau membiasakan hal yang benar? Karena hal seperti itu sudah menjadi kelaziman di kalangan masyarakat pesantren sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan guru atau kiai. Dan apakah hal tersebut termasuk katagori perbuatan penyuapan atau korupsi?" jelas Zainut.
"Itu sesungguhnya mafhum mukhalafah dari apa yang disampaikan beliau, sebuah telaah kritis agar kita bijak dalam menilai sesuatu," ucap Wakil Menteri Agama ini.
Selain itu, menurut Zainut, pidato Suharso juga ingin menjawab pernyataan KPK yaitu bagaimana membangun sebuah sistem demokrasi yang hebat dan berintegritas, sehingga Suharso memulai pidato dengan menjabarkan kondisi riil di masyarakat, agar bisa memberi solusi yang tepat.
"Dengan memberikan tamsil atau ilustrasi seperti tersebut, Pak Ketum bermaksud ingin meyakinkan kepada KPK agar bisa memahami kondisi riil yang terjadi di masyarakat. Ada istilah yang juga beliau sampaikan bahwa setiap Pemilu itu harus ada NPWP, Nomor Piro Wani Piro, hal tersebut menggambarkan praktik politik transaksional di tengah masyarakat yang begitu terstruktur, sistematis dan masif. Maka beliau minta kepada KPK untuk ikut memberikan edukasi kepada masyarakat melalui program Politik Cerdas Bebas Korupsi," jelas Zainut.
Suharso Monoarfa pun telah meminta maaf usai video yang berisi dirinya sedang pidato di KPK beredar di media sosial, Jumat (19/8/2022). Karena itu, Zainut meminta kepada masyarakat untuk menghentikan polemik tersebut.
"Bapak Suharso Monoarfa sudah memberikan klarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf secara tulus dan terbuka atas kekhilafannya membuat ilustrasi yang menurut beliau kurang tepat sehingga menimbulkan polemik di masyarakat, untuk hal tersebut saya mohon polemik ini untuk segera dihentikan dan disudahi agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berlarut di masyarakat," ujar Zainut.