REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dukungan masyarakat terhadap busana Kebaya semakin meningkat, seiring dengan rencana pengusulan busana Kebaya ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Banyak komunitas dan lembaga ikut menyemarakkan ajakan berkebaya melalui berbagai kegiatan.
Namun upaya itu muncul diiringi isu Kebaya akan diajukan bersama-sama dengan negara Malaysia, Singapura dan Brunei Darusalam. Latar belakang pengajuan tersebut diklaim karena kesamaan budaya. Wacana tersebut telah digaungkan pemerintah melalui Kemendikbud dan didukung satu lembaga kelompok perempuan pecinta berkebaya.
Tentunya hal itu ditolak para pecinta kain Kebaya. Mereka memilih upaya pengajuan nominasi ke UNESCO secara single nation yang berarti diajukan pemerintah Indonesia secara sendiri. Pendapat tersebut disuarakan pada saat acara Parade Kebaya Nusantara di Sarinah, Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2022. Wacana penolakan atas pendapat Kemendikbud tersebut mendapat dukungan dari Anggota Wantimpres, Sidarto Danusubroto, dan Menteri PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Bintang Darmawati saat menghadiri acara Parade yang dilaksanakan pada Sabtu silam.
Menyikapi hal tersebut, Etti RS, Wakil Ketua Yayasan Kebudayaan Rancagé, salah satu anggota Koalisi Tradisikebaya.id, berpandangan pengajuan warisan budaya melalui jalur Multi Nation memungkinkan penolakan dari masyarakat Indonesia. Sekalipun pengajuan ke UNESCO merupakan otoritas pemerintah, tetapi sebaiknya melalui proses penjajakan yang melibatkan segenap masyarakat. Setiap negara memiliki kekhasan budaya yang dilatari oleh pola kehidupan masyarakat setempat.
“Pengajuan kebaya ke UNESCO oleh beberapa negara dapat membiaskan riwayat budaya, dari mana sesungguhnya asal mula busana tersebut," kata Etti. Selain itu, apabila diakui banyak negara, mungkin saja kebaya tidak lagi menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia, bukan lagi bagian dari jati diri bangsa. "Karena itu, saya kira akan banyak komunitas yang menolak wacana ini,” tuturnya dalam keterangan tertulis Ahad (21/8/2022).
Etti mengungkapkan bahwa jika wacana ini dilanjutkan, akan berdampak pada warisan budaya lainnya. Bisa diayangkan jika satu per satu budaya milik kita dicicil untuk didaftarkan dengan negara lain sebagai “milik bersama”. "Kelak, anak-cucu kita akan benar-benar kehilangan akar. Mereka bahkan tidak tahu lagi yang mana budaya asli nenek-moyangnya dan mana budaya dari bangsa lain. Semuanya akan berbaur dan akhirnya identitas bangsa tak hanya memudar, tetapi hilang," katanya.
Di tempat terpisah, pekerja seni sekaligus sobat kebaya, Dian Sastrowardoyo yang juga salah satu anggota Koalisi Tradisikebaya.id mengajak seluruh masyarakat untuk menjadikan kebaya sebagai busana kebanggaan bangsa Indonesia. Dian Sastro berharap pemerintah bisa mencanangkan kebaya sebagai pakaian wajib yang digunakan pada hari-hari tertentu, seperti halnya batik.
“Kalau dulu kita wajib berbatik sewaktu berangkat kerja, atau ke sekolah, atau kuliah, kalau bisa suatu hari dicanangkan sama pemerintah, busana nasional atau kebaya wajib (digunakan) satu atau dua hari dalam seminggu. Supaya kita tuh balik ke tradisi, ke adat. Karena itu yang justru membedakan kita dari bangsa lain,” kata Dian.
Menurut Dian Sastro, harus disampaikan kepada UNESCO banyak sekali masyarakat Indonesia yang memakai kebaya. Dian Sastro juga mengajak agar masyarakat Indonesia berperan serta dalam gerakan “Kebaya Goes to UNESCO” dengan mengunggah foto di laman tradisikebaya.id.