Selasa 16 Aug 2022 09:02 WIB

Perundungan di Dunia Maya tak Dapat Dijustifikasi

Perundungan di dunia maya jadi tantangan tersendiri dalam meningkatkan literasi.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andi Nur Aminah
Ilustrasi perundungan
Foto: pixabay
Ilustrasi perundungan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih adanya perilaku doxing dan perundungan di dunia maya menjadi tantangan tersendiri dalam meningkatkan literasi digital masyarakat Indonesia. Bagaimanapun perilaku seperti itu bukan suatu hal yang dapat dijustifikasi.

"Buku yang kedua membahas tentang ketidaksetujuan kami dengan doxing. Apapun alasannya, perundungan di dunia maya bukan suatu hal yang bisa dijustifikasi. Dari situlah kami membahas kira-kira langkah apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan awareness dan mencegah cyberbullying," jelas perwakilan dari Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM), Amelinda Kusumaningtyas, dalam siaran pers, Selasa (16/8/2022).

Baca Juga

Buku tersebut merupakan salah satu dari 58 buku literasi digital yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi beserta mitra jejaringnya. Buku-buku yang diluncurkan CfDS UGM merupakan bentuk dari riset tentang perubahan-perubahan sosial yang disebabkan oleh transformasi digital.

"Kami juga membuat buku-buku tentang ekonomi digital, implikasinya ke pemberdayaan perempuan dan inovasi digital apa saja yang terbentuk ketika Covid-19 terjadi," jelas dia.

Erni Sulistyowati selaku perwakilan dari Common Room menjelaskan secara singkat tentang 10 buku yang dibuat dengan tujuan untuk membantu menurunkan kesenjangan digital di Indonesia. Ada buku yang membahas tentang peningkatan kapasitas di bidang teknologi informasi, pemanfaatan digital, kebijakan dan regulasi, serta tentang pembelajaran teknologi informasi dan layanan berbasis komunitas.

Ada juga buku-buku yang dihasilkan oleh tim Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI). Buku-buku itu membahas tentang panduan dan bagaimana posisi perempuan di dunia daring secara cermat dan bermedia sosial secara bijak. Tim JAPELIDI membuat 15 buku yang terbagi menjadi buku kolaborasi, buku panduan, dan buku khusus yang mengajarkan empat pilar Literasi Digital.

Sementara itu, Tim Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) ikut menjelaskan tentang buku berjudul "Membangun Resiliensi dalam Gejolak Pandemi", yang membahas tentang kisah dan tantangan yang dialami oleh relawan ketika COVID-19 terjadi. Buku tersebut dibuat berdasarkan riset yang harapannya dapat menjawab masalah-masalah dan mendorong semangat kerelawanan.

Lalu, Ketua ICT Watch, Indriyatno Banyumurti, juga menjelaskan tentang karya yang dihasilkan berfokus pada edukasi menggunakan internet yang baik. Ada tiga buku yang membahas tentang #JagaPrivasi, manajemen strategi Komunikasi dalam mengelola media sosial selama pandemi, dan tantangan utama transformasi digital Indonesia yang berhubungan dengan Digital Economy Working Group (DEWG) G20 saat ini.

Berdasarkan Survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang dilakukan oleh Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021, saat ini Indonesia masih menduduki kategori 'sedang' dalam hal kapasitas literasi digital dengan nilai angka sebesar 3.49 dari 5.00. Atas dasar itulah Kemenkominfo berkolaborasi dengan Siberkreasi dan mitra-mitranya meluncurkan 58 buku kolaborasi seri Literasi Digital.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement