REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) memberlakukan pencegahan ke luar negeri terhadap tersangka kasus korupsi penguasaan lahan sawit, Surya Darmadi pada Kamis (11/8). Surya Darmadi telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Riau tahun 2014.
Pencegahan dicanangkan setelah Ditwasdakim menerima permohonan terkait hal tersebut dari Kejaksaan Agung RI. "Hari ini kami menerima permohonan pencegahan dari Kejagung RI terhadap WNI bernama Surya Darmadi. Adapun masa pencegahan berlaku selama enam bulan hingga tanggal 11 Februari 2023," kata Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kemkumham, I Nyoman Gede Surya Mataram dalam keterangan pers yang diterima Republika pada Kamis (11/8) .
Keberadaan tersangka sekaligus buronan tersebut masih terus dicari. Ditjen Imigrasi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, Interpol dan instansi terkait berkoordinasi untuk melacak jejak-jejak pelarian Surya Darmadi.
Diketahui, Surya Darmadi selaku pemilik Duta Palma Group menjadi induk dari lima perusahaan; PT Banyu Bening Utama, PT Panca Argo Lestari, PT Seberida Subut, PT Palma Satu, dan PT Kencana Alam Tani. Sejumlah perusahaan tersebut, menurut Jaksa Agung, terbukti otentik sebagai milik dari Surya Darmadi.
Pada 2003, Surya Darmadi bersama dengan tersangka Raja Tamsir, Surya melakukan kesepakatan yang melanggar hukum. Yaitu persekongkolan jahat untuk mendapatkan, mempermudah, serta memuluskan perizinan kegiatan usaha budidaya perkebunan kelapa sawit. Dalam kegiatan tersebut, Surya meminta agar Raja Tamrin sebagai kepala daerah, memberikan izin kegiatan usaha pengelolaan kelapa sawit melalui HGU kepada lima anak perusahaannya.
Namun, yang mereka pakai adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) di hutan produksi terbatas (HPT) dan lahan hutan penggunaan lainnya (HPL) di wilayah Indragiri Hulu, Riau. Dalam penerbitan HGU itu, Raja Tamrin memberikan kemudahan dengan pembuatan kelengkapan perisinan terkait lokasi dan izin usaha perkebunan. Pembuatan izin tersebut dilakukan tanpa adanya izin prinsip dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).