REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan tidak menutup kemungkinan penyakit cacar monyet memasuki Indonesia. Bahkan, peluangnya relatif cukup besar.
"Ada kemungkinan cacar monyet memasuki Indonesia. Potensinya relatif cukup besar karena fakta laju penerbangan, mobilisasi, mobilitas interaksi antarnegara itu sudah layaknya seperti sebelum pandemi," ujar Dicky saat dihubungi Republika, Rabu (27/7/2022).
Artinya, orang yang bepergian ke lokasi yang terdampak cacar monyet kemudian pulang dan masuk Indonesia maka potensi penularannya sangat besar. Selain itu, Dicky menyebutkan populasi risiko tinggi kelompok gay, biseksual, atau penjaja seks ada di mana-mana, termasuk Indonesia. Ia mengingatkan perilaku atau populasi berisiko terpapar cacar monyet juga ada di Indonesia.
Meskipun ada skrining di pintu masuk negara, Dicky mengingatkan masa inkubasi cacar monyet hingga timbul gejala bintil-bintil yang khas membutuhkan waktu 2 hingga 3 pekan. Artinya periode ini memberikan waktu lebih panjang orang yang tertular cacar monyet bepergian ke mana-mana dan melakukan aktivitas berisiko dalam arti menularkan penyakit ini.
Potensi masuknya cacar monyet makin besar ketika stigma dan pemberitaan cacar monyet membuat kelompok yang berisiko makin tertutup tak berani mengungkap sakitnya dan risiko makin besar. "Tentu tak terbuka pada pasangan, keluarga, dan tenaga kesehatan meningkatkan risiko penularan di kelompok berisiko ini. Itu artinya ada potensi kasus cacar monyet di Indonesia," kata Dicky.
Potensi semakin ditambah ketika perilaku masyarakat kalau sakit tidak langsung berobat ke fasilitas kesehatan. Ini membuat potensi kasus cacar monyet masuk Indonesia dan tidak terdeteksi makin besar.
Sebelumnya, organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) menyatakan wabah cacar monyet atau monkeypox adalah situasi luar biasa yang sekarang telah memenuhi syarat sebagai darurat global. Wabah ini dilaporkan telah meluas di lebih dari 70 negara.