REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) telah melakukan pengukuran indeks kepuasan masyarakat dan indeks persepsi anti korupsi sejak 2015. Kegiatan ini dilakukan demi menemukan inovasi yang bermanfaat untuk masyarakat.
"Pengukuran indeks ini bukan hanya sebagai alat evaluasi, akan tetapi juga wujud konkret keterlibatan pengguna layanan untuk menghasilkan kebijakan yang partisipatif," kata Yasonna dalam keterangan pers, Selasa (19/7).
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly saat membuka acara Seminar Nasional “Indeks Layanan: Menakar Akselerasi Kinerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia”. Kegiatan yang merupakan salah satu rangkaian peringatan Hari Dharma Karya Dhika (HDKD) Ke-77 itu digelar secara hybrid.
"Dengan melibatkan pengguna layanan, unit layanan publik dapat mengetahui kebutuhan pengguna dan melakukan perbaikan ketika mendapatkan umpan balik," ujar Yasonna.
Pejabat atau petugas terkait nantinya dapat melihat potret layanan secara real time menggunakan Indeks Layanan. Data tersebut dapat diolah kemudian dirumuskan menjadi kebijakan pelayanan publik. Perbaikan layanan yang dilakukan dari tingkat Unit Pelaksana Teknis (UPT) hingga kementerian, lanjut Yasonna, dapat memberikan persepsi positif dan kenyamanan bagi masyarakat.
“Dengan menakar percepatan kinerja kita melalui pengukuran indeks, diharapkan kita mampu memetakan isu aktual terkait permasalahan dalam pelayanan publik. Sehingga akan menghasilkan solusi perbaikan," ucap Yasonna.
Yasonna juga menegaskan pelayanan prima tidak dapat terwujud hanya dengan jentikan jari. Apalagi di tengah tuntutan masyarakat yang terus meningkat.
"Oleh karena itu, Insan Pengayoman diimbau untuk melahirkan inovasi yang berkelanjutan. Kuncinya adalah komitmen bersama, sinergitas antarlembaga, transformasi sistem serta perubahan mindset dari dilayani menjadi melayani," sebut Yasonna.
Pada aspek keimigrasian, partisipasi masyarakat diwadahi melalui penilaian kepuasan pemohon di kantor imigrasi serta pelayanan pengaduan dan informasi keimigrasian di level pusat. Imigrasi secara berkelanjutan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat, terutama sejak munculnya Pandemi Covid-19 hingga masa pemulihan ekonomi nasional saat ini.
Contohnya kebijakan reaktivasi eVisa yang diberikan kepada orang asing yang sudah memperoleh eVisa, namun tidak bisa masuk Wilayah Indonesia karena pembatasan masuk bagi WNA selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Hal tersebut menyebabkan banyak eVisa yang kadaluarsa sebelum digunakan masuk Indonesia. Kebijakan lain yakni pemberian fasilitas Visa On Arrival (VOA) kepada orang asing asal 72 negara.