Senin 18 Jul 2022 18:38 WIB

RKUHP Jadi Ancaman Bagi Kebebasan Pers

Dewan Pers menyatakan, tidak pernah lagi diajak untuk membahas RKUHP.

Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memakai topeng hitam saat mengikuti aksi Hari Kebebasan Pers Sedunia di bawah Jembatan Layang Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (3/5/2021). RKUHP saat ini dinilai menjadi ancaman bagi masa depan kebebasan pers di Indonesia. (ilustrasi)
Foto:

Sekjen Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia Ika Ningtyas Unggraini mengatakan, baik Pemerintah dan DPR hingga saat ini tidak terbuka terkait draf RKUHP yang sudah diserahkan ke DPR. Dari draf RKUHP diketahui banyak pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers dan berpendapat di Indonesia.

Ika mengatakan, pasal-pasal bermasalah tersebut sebetulnya sudah pernah dikritisi pada pembahasan 2019 lalu, tetapi masih dipertahankan di draft RKUHP yang beredar tersebut. 

"Yang kita lihat pasal-pasal anti demokrasi warisan kolonial, masih muncul di RKUHP yang baru, setidaknya kita liat dari draf yang beredar 4 Juli berdampak serius terhadap pers, ini akan membawa potensi banyak jurnalis ke jeruji besi," ujar Ika dalam jumpa pers secara virtual, Senin (18/7/2022).

Ika mengatakan, sejumlah pasal tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, tindak pidana kekuasaan umum dan lembaga negara, tindak pidana berita bohong dan tidak pasti secara langsung berkaitan dengan kerja-kerja jurnalis. Dia menjelaskan, ketika jurnalis melakukan kritik kepada presiden dan wakil presiden bahkan level pemerintah daerah sekalipun menjadi celah mudah bagi pihak yang dikritik untuk mempidanakan jurnalis melalui pasal ini.

Selain itu, pasal ini juga sudah dinyatakan inkonstitusional oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 lalu, tetapi kemudian dihidupkan kembali oleh Pemerintah.

"Tidak menutup kemungkinan kalau kemudian RKUHP ini disahkan, akan semakin banyak jurnalis-jurnalis yang divonis pidana," kata Ika. 

Kedua, lanjut Ika, pasal bermasalah lainnya adalah pasal 263 tentang berita bohong yang rawan disalahgunakan pihak tertentu, tidak terkecuali instansi pemerintah seperti Polri. Berdasarkan catatan AJI, selama dua tahun terakhir, banyak karya jurnalistik yang sudah melalui prosedur verifikasi ketat dengan mudah dilabeli hoaks oleh institusi Polri. 

"Jadi bayangkan jika pasal ini kemudian masuk dalam RKUHP, besok-besok akan semakin banyak berita yang bermuatan kritik terhadap penyelenggaraan negara kemudian ini semakin mudah dilabeli hoaks lalu diseret dengan pasal 263," kata Ika.

Ketiga, pasal 264 tentang tindak pidana bagi berita yang tidak lengkap turut mengancam kerja jurnalis. Ika menilai, pasal ini akan mudah digunakan bagi produk jurnalistik dengan kondisi tertentu seperti Breaking News yang memaksa harus cepat dan diperbarui setiap waktu atau kendala akses internet.

Kondisi ini kata Ika, menjadikan produk jurnalistik tersebut belum lengkap. Namun demikian, pasal 264 ini kemudian membuat berita yang dianggap tidak lengkap atau belum mendapat data yang utuh di lapangan mudah dijerat pidana dengan pasal ini.

Padahal kata Ika, ketentuan mengenai keberimbangan atau cover both sides sudah ada dalam Undang-undang Pers, termasuk mekanisme hak jawab dan pengaduan ke Dewan Pers.

"Ini menunjukkan logika dalam pasal ini kaca seolah-olah generalisasi bahwa berita yang tidak lengkap itu sebagai informasi palsu. Ini juga bukti ketidakpahaman perumusan pasal-pasal RKUHP ini terhadap kerja-kerja jurnalistik," kata Ika.

Kemudian, pasal yang tidak kalah mengkhawatirkannya bagi insan pers adalah pasal 598, 599 dan 600 yang mengatur tentang tindak pidana penerbitan dan percetakan. Dia menilai pasal-pasal ini sengaja dimasukkan agar membuat pers menjadi delik umum, tidak lagi sebagai lex specialis.

"Melihat pasal-pasal ini tentang RKUHP memang sengaja memasukkan pers sebagai delik umum bukan lagi sebagai lex specialis yang telah diatur oleh undang-undang Pers," kata dia.

Karena itu, AJI bersama Komite Keselamatan Jurnalis mengajak pers dan masyarakat sipil untuk mengawal penuh pembahasan RKUHP antara DPR dan Pemerintah. Sebab, jika pasal-pasal bermasalah tersebut sampai disahkan tidak hanya merugikan pers di Indonesia tetapi juga kebebasan seluruh masyarakat.

"Mudah-mudahan DPR mau dan menjawab permohonan kami sehingga kami dari masyarakat sipil bisa berpartisipasi  lagi dalam memberikan kritik dan masukan terhadap RKUHP," ujar perwakilan Komite Keselamatan Jurnalis, Zaky Yamani dari Amnesty International indonesia dalam jumpa pers virtual, Senin (18/7/2022).

Zaky juga meminta agar DPR dan Pemerintah tidak menutup ruang dengan mengatakan pembahasan RKUHP sudah final. Dia menegaskan, masih banyak pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP berdasarkan draf yang beredar di publik tersebut.

"Walaupun pemerintah mengatakan hanya ada 14 isu yang dianggap bermasalah, pada kenyataannya masyarakat sipil punya banyak isu lebih dari pada itu. Jadi sekali lagi kepada DPR, buka lagi ruang partisipasi publik dan diawali dengan memberikan draf yang sahih," ujarnya.

 

photo
7 Insentif Ekonomi yang Dibutuhkan Pers - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement