Senin 18 Jul 2022 06:20 WIB

Hakim Konstitusi: MK tak Punya Eksekutor Putusan

MK tidak memiliki perangkat dan aparat untuk mengawasi serta mengeksekusi putusannya.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andi Nur Aminah
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Wahiduddin Adams
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Wahiduddin Adams

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengungkapkan masalah ketiadaan eksekutor atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Masalah ini dinilai berdampak pada ketidakpatuhan lembaga negara terhadap putusan MK. 

Terkait pelaksanaan Putusan MK, Wahiduddin menyebut MK tidak memiliki perangkat dan aparat untuk mengawasi serta mengeksekusi putusannya. Menurutnya, pelaksanaan Putusan MK pada akhirnya semua berpulang pada kesadaran warga negara untuk melaksanakannya. 

Baca Juga

"MK tidak punya jangkauan perangkat atau aparat yang bisa mengeksekusi atau menegur (lembaga negara) terkait Putusan MK," kata Wahiduddin dalam keterangan yang dikutip Republika.co.id pada Ahad (17/7). 

Wahiduddin menjelaskan putusan MK paling tidak dibagi menjadi dua jenis. Pertama, putusan yang secara langsung dapat dilaksanakan sejak putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap (self-executing). "Artinya bahwa putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang telah diuji," ujar Wahiduddin.

Karakter putusan yang demikian pada umumnya putusan yang hanya meniadakan suatu undang-undang baru. Karena keberadaannya tidak berkaitan dengan kasus-kasus konkret. 

Jenis kedua, putusan yang membutuhkan tindak lanjut tertentu (non-self executing). "Bentuk putusan ini harus menunggu perubahan atas undang-undang yang telah dibatalkan jika addressat putusan tersebut berkaitan dengan legislatif. Sedangkan putusan yang menjadikan lembaga eksekutif sebagai addressat putusannya, dibutuhkan prosedur-prosedur birokratis agar putusan tersebut dilaksanakan secara konsekuen,” ujar Wahiduddin. 

Sebelumnya, terungkap hasil penelitian terkait pelaksanaan Putusan MK. Pada 2018, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 59 putusan PUU atau sebesar 54,12 persen telah dipatuhi seluruhnya oleh lembaga negara. Sebanyak enam putusan (5,5 persen) dipatuhi sebagian. Sebanyak 24 putusan (22,01 persen) tidak dipatuhi. Serta sebanyak 20 putusan (18,34 persen) dengan status belum diketahui. 

"Belum diketahui dalam hal ini adalah belum bisa diidentifikasi tingkat kepatuhannya," ucap Wahiduddin.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement