Ahad 17 Jul 2022 19:49 WIB

Indikasi Pencemaran Sungai Musi Semakin Parah

Mikroplastik menjadi ancaman baru kelestarian ikan dan Sungai Musi.

Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (14/1/2022). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan target produksi batu bara 2022 mencapai 663 juta ton yang diperuntukkan untuk konsumsi domestik/domestik market obligation (DMO) sebesar 165,7 juta ton sedangkan sisanya 497,2 juta ton akan mengisi pasar ekspor.
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (14/1/2022). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan target produksi batu bara 2022 mencapai 663 juta ton yang diperuntukkan untuk konsumsi domestik/domestik market obligation (DMO) sebesar 165,7 juta ton sedangkan sisanya 497,2 juta ton akan mengisi pasar ekspor.

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) bersama perkumpulan Telapak Sumatra Selatan dan Spora Institut Palembang menemukan indikasi pencemaran di Sungai Musi semakin parah. Indikasi tersebut didukung fakta semakin sulit ditemukannya ikan di Sungai Musi.

"Seperti jenis baung pisang, kapiat, patin, tapahdan ikan belida," kata peneliti ESN Prigi Arisandi, seusai melakukan penyusuran Sungai Musi Palembang, Ahad (17/7/2022).

Baca Juga

Menurut dia, air Sungai Musi menjadi muara dari puluhan anak-anak sungai di provinsi dengan 17 kabupaten dan kota itu. Tingginya aktivitas alih fungsi lahan di hulu, aktivitas tambang tanpa izin, perkebunan sawit, pencemaran industri serta sampah plastik dan air limbah dari berbagai kegiatan masyarakat menimbulkan pencemaran di Sungai Musi.

Pencemaran sungai tersebut perlu mendapat perhatian bersama semua pihak dan lapisan masyarakat. Hal ini agar air Sungai Musi tetap bisa menjadi tempat hidup dan berkembang biak aneka jenis ikan dan biota sungai lainnya.

Selain itu, menurut Prigi, air Sungai Musi perlu dijaga kebersihannya agar bisa tetap digunakan masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bahan baku air minum.

Koordinator Telapak Sumatra Selatan Hariansyah Usman menambahkan tujuan penyusuran Sungai Musi yang dilakukan bersama tim peneliti ESN itu untuk melihat kadar polutan dan uji mikroplastik. Menurut dia, selain air limbah dari berbagai kegiatan masyarakat, industri, perkebunan dan lainnya, pencemaran mikroplastik menjadi ancaman baru kelestarian ikan dan Sungai Musi.

Tingginya tingkat pencemaran bahan-bahan kimia pengganggu hormon memicu gangguan reproduksi ikan. Dampaknya bisa menurunkan populasi ikan dan punahnya ikan-ikan yang tidak toleran terhadap kadar polutan yang meningkat.

Dalam pengambilan sampel air di Sungai Musi, katanya, menunjukkan tingginya kadar logam berat mangan dan tembaga yang mencapai 0,2 PPM dan 0.06 PPM. Padahal standarnya tidak boleh lebih dari 0,03 PPM.

"Kadar klorin dan phospat cukup tinggi, yaitu untuk klorin 0,16 MG/liter, seharusnya tidak boleh lebih dari 0,03 MG/liter sedangkan phospatjuga tinggi mencapai 0.59 MG/L. Tingginya kadar klorin dan phospat sangat mempengaruhi sistem pernapasan ikan dan mempengaruhi pembentukan telur ikan," ujarnya.

Menurut Prigi Arisandi serta dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Veryl Hasan, jenis mikroplastik yang paling mendominasi adalah jenis fiber atau benang-benang yang mencapai 80 persen. Jenis mikroplastik lainnya adalah granula, fragmen serta filamen.

Mikroplastik, phospat, logam berat dan klorin, menurut Prigi, termasuk dalam kategori senyawa pengganggu hormon. Keberadaanya di sungai akan mengganggu proses pembentukan kelamin ikan.

Tim ESN juga menemukan permukaan Sungai Musi dipenuhi sampah plastik sekali pakai. Tim juga menerima keluhan para nelayan dan penjual ikan mengenai merosotnya jumlah ikan tangkapan dan ukuran ikan yang makin mengecil.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement