Jumat 15 Jul 2022 14:00 WIB

Analis: Usia Capres Jadi Pertimbangan Anak Muda pada Pilpres 2024

Usia capres jadi salah satu pertimbangan penting anak muda generasi Z dan milenial

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Semangat motivasi dan inspirasi anak muda (ilustrasi). Analis politik menyebut Usia capres jadi salah satu pertimbangan penting anak muda generasi Z dan milenial.
Foto: Republika/Prayogi
Semangat motivasi dan inspirasi anak muda (ilustrasi). Analis politik menyebut Usia capres jadi salah satu pertimbangan penting anak muda generasi Z dan milenial.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Analis politik Pangi Syarwi Chaniago menyatakan usia calon presiden (capres) menjadi salah satu pertimbangan penting anak-anak muda Generasi Z dan milenialdalam menentukan pilihan mereka pada Pilpres 2024.

"Soal umur menjadi perhatian mereka karena bisa merepresentasikan aspirasi mereka," ujar Pangi, CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (15/7/2022).

Baca Juga

Menurut Pangi, tak hanya usia, anak-anak muda juga cenderung mempertimbangkan penampilan fisik dan karakter calon pemimpin. Hal ini karena sebagian mereka tergolong pemilih yang mempertimbangkan kedekatan psikologis. Walau begitu, menurut dia, ada juga sebagian dari mereka yang mendasarkan pilihan dari pengalaman dan kinerja capres.

Pangi mengatakan porsi pemilih rasional ini sekitar 20 persen. "Sekitar 35 persen pemilih psikologis, 20 persen rasional, dan pemilih berbasis agama sekitar 5 persen," ungkap Pangi.

Khusus untuk pilpres, katanya, jumlah pilihan calon yang maju turut menjadi pertimbangan anak muda. Berkaca pada Pilpres 2019, terbatasnya pilihan pada dua pasangan calon cenderung mengecewakan anak-anak muda. Oleh karena itu, menurut dia, makin banyak pilihan calon akan meningkatkan keinginan anak-anak muda untuk datang mencoblos.

"Variannya tidak beragam. Itu yang membuat anak milenial, anak muda, merasa enggak ada yang mewakili mereka. Mereka bosan dan jenuh dan akhirnya golput," tutur Pangi.

Mengenai golput atau golongan putih, menurut Pangi, hal ini juga karena anak muda merasa tak ada program dari calon pemimpin yang mewakili kepentingan mereka. Anak-anak muda merasa pemilu tidak akan mengubah nasib mereka. Untuk itu, para calon pemimpin seharusnya mampu membaca selera anak muda termasuk apa yang mereka inginkan.

Dia mengingatkan anak-anak muda tergolong sangat kritis dan tidak mudah dimobilisasi dengan imbalan uang. "Kadang-kadang mereka juga sudah punya penghasilan, punya pekerjaan. Jadi partisipasi yang dimobilisasi, dibayar, anak-anak muda belum tentu tertarik dengan hal-hal begitu," kata Pangi.

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyebut berdasarkan data Pemilu 2019, terdapat 30 persen pemilih muda dari daftar pemilih tetap (DPT). Untuk Pemilu 2024, anggota Bawaslu Lolly Suhenty menyatakan pemilih muda dapat menembus 60 persen dari total suara pemilih. Menurut Lolly Suhenty, menciptakan konten kepemiluan yang edukatif dan kreatif menjadi salah satu tantangan Bawaslu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement