Selasa 12 Jul 2022 14:29 WIB

Filantropi dan Anatomi Kapitalisme Relijius

Kapitalisme relijius bisa diartikan sebagai praktik kapitalis dengan nuansa kesalehan

Suasana kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sulsel di, Makassar, Sulawesi Selatan.
Foto:

Oleh : Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University

Sekarang kita bahas model pertama, “kapitalisasi DONASI”, yang lebih tinggi kadar KR-nya. Di sini, ada dua kasta. Kasta pertama adalah donasi dalam model filantropi Barat. Donasi bersumber dari hasil akumulasi para kapitalis sukses seperti John D. Rockefeller dan Bill Gates.

Orang-orang seperti ini telah selesai dengan dirinya. Mereka telah sampai pada tahapan kehidupan dengan keinginan berbagi untuk kemanusiaan dan dunia yang lebih baik. Umumnya, orang-orang seperti ini tak begitu percaya dengan akhirat, tak begitu mengimani hidup setelah mati.

Filantropi Barat ini mulai dari proses akumulasi yang super sukses, lalu beralih ke redistribusi. Tentunya dengan consent (persetujuan) dari pemilik hasil akumuasi. Begitulah instinct baik manusia. Ruhnya adalah nilai-nilai kemanusiaan.

Organisasi filantropi Barat bersifat sangat profesional. Menganut model yang berkelanjutan, baik secara proses manajerial, maupun finansial. Dana abadi diinvestasikan secara hati-hati (prudent) dan profesional, menghasilkan pendapatan (return) untuk membiayai program-program amal kemanusiaan. Yang dibelanjakan adalah buahnya, bukan batangnya.

Rockefeller Foundation yang didirikan oleh raja minyak John D. Rockefeller masih berkibar kokoh setelah lebih satu abad berdiri. Saat ini, asetnya lebih dari 4 milyar dolar AS, dengan pengeluaran donasi pertahunnya mencapai ratusan juta dolar AS. Sejatinya, hal ini sangatlah relijius. Mengembalikan akumulasi kapitalisme untuk tujuan-tujuan kemanusiaan (humanity). Bukankah, hakikat semua agama akan bertemu pada dataran humanisme? Begitu filosofinya.

Kasta kedua adalah kapitalisasi donasi model ACT dan KITABISA yang mengakumulasi serta sekaligus mengkapitalisasi semangat berderma dari orang-orang dengan tingkat relijiusitas tinggi. Mereka mengumpulkan apa saja dari orang banyak, termasuk receh. Persetujuan (consent) dari donatur yang banyak itu, cenderung diabaikan.

Agen kapitalis relijius seperti ACT dan KITABISA menjual “pahala” kepada para donatur dengan mengeksploitasi penderitaan dari orang-orang/kelompok calon penerima donasi. “Pederitaan” dikomodifikasi, memanfaatkan teknik pemasaran, narasi hiperbolis, dan dukungan teknologi informasi (IT). Jika “pahala” adalah “produk”, maka donasi yang diberikan adalah “harga”nya. Sayangnya (atau malah, “untungnya”), “pahala” tidaklah berwujud nyata. Ia gaib. Mekanisme berkerjanya pasar barang gaib berbeda dengan pasar barang normal/nyata.

Pahala tidak memerlukan layanan purna jual, tidak bisa dihukum oleh feedback konsumen. Menjualnya pun relatif mudah di tengah masyarakat yang relijius, suka menolong, dan ekonominya tumbuh.

Soal kedermawanan dan relijiusitas, Indonesia adalah juaranya. Ini pasar empuk. Jika ada fraud, agama menjadi comforter. Di sinilah timbulnya persoalan moral hazard.

ACT dan KITABISA hidup dari donasi orang banyak. Ini bertolak belakang dengan kasta pertama, filantropi Barat, yang donasinya bersumber dari akumulasi para kapitalis sukses dan baik. Secara substansi, model filantropi Barat terlihat lebih mulia.

ACT dan KITABISA mengkapitalisasi, mengakumulasi, dan mengeksploitasi semangat berderma masyarakat relijius: Kapitalisme relijius yang sangat telanjang. Sangat telanjang, sehingga urusan kambing pun dimanipulasi, dari 12 ribu menjadi 2 ribu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement