REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mabes Polri mengumumkan proses penyelidikan ke tahap penyidikan kasus dugaan penyimpangan, dan penyelewengan pengelolaan dana masyarakat oleh lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT). Kasus tersebut dilanjutkan ke penyidikan setelah tim Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri menggelar perkara hasil penyelidikan, Senin (11/7/2022) hari ini.
“Perkara (ACT) ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta.
Gelar perkara penyidikan dilakukan setelah Bareskrim Polri melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap para pengurus, dan mantan pegiat di ACT sejak pekan lalu. Sampai Senin, sebelum gelar perkara, tim penyidik di Dirtipideksus memeriksa empat mantan, dan petinggi di ACT.
Beberapa yang diperiksa, mantan presiden ACT Ahyudin, Presiden ACT Ibnu Khadjar, dan para manajer operasional, serta keuangan. Dalam penyidikan ini, Polri tak menyasar adanya dugaan dugaan keterlibatan pengelolaan dana ACT untuk kegiatan, dan aktivisme radikal di luar negeri.
Namun, Ramadhan menjelaskan, dalam penyidikan oleh Dirtipideksus, tim kepolisian meningkatkan kasus tersebut terkait dengan dugaan penyalahgunaan, dan penilapan dana bantuan korban kecelakan pesawat Lion Air JT-610 2018 lalu.
Dia mengatakan, ACT adalah pihak ketiga yang mengelola dana santunan, dan dana sosial bagi ahli waris para korban kecelakaan pesawat itu. Ketentuan ACT sebagai lembaga pihak ketiga mengacu pada syarat dari perusahaan pemberi bantuan.
Dalam hal tersebut, pihak Boeing yang memberikan dana santunan senilai 144 ribu dolar AS, atau setara Rp 2,06 miliar kepada para ahli waris korban kecelakaan pesawat udara. Bantuan lainnya berupa CSR yang juga dikelola oleh ACT.
CSR tersebut, semula diperuntukan untuk membangun fasilitas pendidikan. Namun dalam penelusuran, dana sosial, dan CSR dari Boeing yang dikelola ACT tersebut diduga, terjadi penyelewengan.
Sejumlah petinggi ACT diduga menggunakan dana sosial, dan CSR tersebut untuk kepentingan bisnis, dan pribadi. Terkait dugaan tersebut, Bareskrim Polri menggunakan dalil pasal 372, Pasal 378, KUHPidana, dan Pasal 45A ayat (1), Pasal 28 ayat (1) UU ITE sebagai dasar penyidikan. Penyidikan juga menggunakan dalil Pasal 70 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 5 UU 28/2004 tentang Yayasan, serta Pasal 3, dan Pasal 4, serta Pasal 5 UU TPPU.