REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR Komisi III, Arsul Sani menerangkan pasal mengenai hukuman mati dan penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini sebagai bentuk transparansi kepada publik.
Arsul menyebutkan, salah satu isu krusial RKUHP adalah pidana mati yang ditolak sebagian masyarakat dan 22 Duta Besar Negara Uni Eropa. Mereka menginginkan abolisi total terhadap pidana mati.
Tapi Komisi III juga menerima aspirasi dari masyarakat yang ingin mempertahankan pidana mati sebagai pidana pokok seperti dalam pasal 10 KUHP saat ini. "Maka sebagai jalan tengah politik hukum yang diletakan adalah kita tidak melakukan abolisi, tidak menghapus total pidana mati dari hukum pidana kita, tetapi kita juga tidak mempertahankan posisi pidana mati kita sebagai pidana pokok," kata Arsul dalam risalah Webinar LP3ES yang dikutip pada Ahad (10/7/2022).
Para penolak hukuman mati beralasan Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi hak sipil dan politik. "Posisi moderatnya adalah pidana mati tidak kita hapus, tetapi posisinya kita geser dari pidana pokok ke pidana khusus yang harus dijatuhkan secara alternatif," lanjut Arsul.
Mengenai pasal penghinaan Presiden, Arsul melihatnya dari dua sisi pandang. Pandangan pertama disampaikan oleh para pakar Hukum Tata Negara dan masyarakat sipil bahwa untuk menjamin kehidupan demokrasi yang lebih baik, maka harus dihapuskan pasal itu. Apalagi sudah ada putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.
"Tetapi DPR menerima pandangan dari akademisi dan ahli hukum pidana, dalam konteks hukum kita yang demokrasinya belum matang, maka akan menimbulkan ketidaktertiban dalam kehidupan sosial kita. Seperti yang dicontohkan saat masyarakat kita bermedsos. Itu tinjauan dari sisi yuridis," ujar Arsul.
Arsul mengungkapkan, di RKUHP ada pasal tentang penghinaan terhadap kepala negara yang sedang berkunjung ke Indonesia. Jika ada warga Indonesia mencaci maki ratu, raja, presiden atau perdana menteri yang sedang berkunjung ke Tanah Air, maka bisa dipidanakan.
"Karena itu, ahli hukum pidana menyampaikan, menjadi tidak logis jika menyerang harkat martabat dan kehormatan kepala negara lain yang sedang berkunjung ke Tanah Air itu bisa dipidana sementara menyerang Presiden dan Wakil Presiden sendiri tidak diapa-apakan," kata Arsul.
Arsul menambahkan, untuk menata ulang pasal ini adalah dengan menggeser pasal yang tadinya dari delik biasa menjadi delik aduan. Jika Presidennya mengadu, maka bisa dipidanakan.
"Tetapi jika Presidennya suka, tertawa seperti Jokowi sekarang atau Pak SBY dulu, saya kira tidak akan ada tindak pidana. Itu juga berlaku terhadap lembaga negara yang semuanya kami ubah yang asalnya delik biasa menjadi delik aduan," kata Arsul.