Rabu 27 Nov 2019 18:57 WIB

ICJR Ingatkan Pemerintah Bahas RKUHP Secara Terbuka

Pembahasan RKUHP sebaiknya tak hanya membatasi pada 14 pasal yang diklaim bermasalah.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara. ICJR mengingatkan pemerintah membahas RKUHP secara terbuka.
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara. ICJR mengingatkan pemerintah membahas RKUHP secara terbuka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengingatkan pemerintah pentingnya pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dia meminta pemerintah membuka kembali bahasan RKUHP untuk menjaring masukan dari masyarakat.

Dia mengatakan, pembahasan RKUHP harus dilakukan secara terbuka serta melibatkan berbagai elemen publik, seperti akademisi dan ahli dari seluruh bidang ilmu yang terkait, seperti kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat, serta masyarakat sipil. ICJR, kata Anggara, juga meminta agar pembahasan RKUHP tidak hanya membatasi pada 14 pasal yang diklaim bermasalah sebelumnya.

Baca Juga

"Pemerintah juga hendaknya membentuk Komite Ahli dengan keanggotaan yang luas untuk kembali membahas RKUHP," kata Anggara dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (27/11).

Anggara mengatakan, pembahasan RKUHP merupakan carry over dari pemerintahan periode sebelumnya. Dia mengingatkan kembali komitmen Presiden Joko Widodo yang memerintahkan untuk menunda pengesahan RKUHP pada 20 Septerber lalu itu agar dapat menjaring masukkan dari masyarakat.

Dia mengatakan, opini masyarakat dibutuhkan mengingat setidaknya ada 24 isu dari banyak pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP. Dia mengungkapkan isu mendasar seperti masalah pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan penyimpangan asas legalitas dan kriminalisasi tidak jelas sama sekali tidak pernah dibahas oleh Menteri Hukum dan HAM.

Melihat hal itu, ICJR, dia mengatakan, meminta Menteri Yasonna untuk segera menyusun roadmap reformasi kebijakan pidana. Hal itu, termasuk reformasi hukum pidana yang bertumpu pada perlindungan HAM, kebebasan sipil dan politik, humanis dan demokratis.

"Juga reformasi kebijakan sistem peradilan pidana yang yang akuntabel, terbuka, integratif, dan menjamin pemenuhan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban kejahatan," katanya.

Anggara berpendapat, roadmap ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam melakukan reformasi kebijakan pidana. Termasuk, pembentukan hukum pidana yang sesuai dengan jaminan perlindungan HAM dan kebebasan sipil berdasarkan prinsip dan jaminan HAM internasional. 

Rodmap, sambung dia, juga akan memberi penekanan kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan tindak pidana agar tidak lagi menekankan pada tujuan pemidanaan yang retributif dan berfokus pada pidana penjara, mewujudkan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang mencerminkan keterpaduan antara aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang, memberikan fokus lebih dan perlindungan terhadap korban kejahatan, dan lain sebagainya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement