Sabtu 09 Jul 2022 16:28 WIB

Pakar: Pemerintah Harus Buat Data Valid Masyarakat Miskin Cegah Korupsi

Ketidaksiapan tersebut dapat dilihat dari kasus korupsi yang terjadi di Kemensos.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti meminta pemerintah membuat data valid terkait jumlah masyarakat miskin penerima bantuan. Hal itu dapat mencegah praktik korupsi penyaluran bantuan sosial.

"Saya bilang pemerintah belum siap. Hal itu dapat dilihat dari segi data dan metode dalam memberikan bantuan sosial," kata Bivitri Susanti pada webinar bertajuk 'Polemik Pengelolaan Dana Filantropi' yang dipantau di kanal YouTube di Jakarta, Sabtu (9/7/2022).

Baca Juga

Salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu mengatakan, ketidaksiapan tersebut dapat dilihat dari kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Sosial dengan pelaku Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Belakangan, sambung dia, cukup banyak kritik terkait data yang kurang valid mengenai jumlah masyarakat miskin yang wajib dibantu.

Ia mengatakan, sarden tidak layak konsumsi yang merupakan bantuan sosial Covid-19 dan disalurkan Kementerian Sosial adalah contoh dari ketidaksiapan tersebut. Pada akhirnya, kata dia, uang negara yang digelontorkan dalam jumlah besar sia-sia. Bahkan, dikorupsi beberapa orang termasuk Menteri Sosial pada saat itu.

Selain menyoroti data yang kurang valid serta metode yang masih dinilai kurang tepat, Bivitri menilai birokrasi di Tanah Air kurang cepat menanggapi masalah sosial seperti kemiskinan, bencana alam, dan lain sebagainya. Bahkan, berbagai lembaga kemanusiaan atau filantropi lebih sigap menanggapi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

"Sebelum peristiwa ACT meledak, kita melihat kecepatan dari filantropi ini termasuk Dompet Dhuafa, Palang Merah Indonesia (PMI), dan lainnya lebih cepat beraksi membantu masyarakat," ujarnya.

Kecepatan dari lembaga kemanusiaan tersebut karena tidak adanya birokrasi yang panjang sebagaimana di instansi pemerintah. Bivitri menyebut, panjangnya birokrasi di pemerintah tidak lepas dari keharusan karena adanya kekhawatiran temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika tidak hati-hati.

"Itu benar. Tapi kan birokrasi fleksibel untuk menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya darurat," kata dia.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement