Kamis 07 Jul 2022 00:25 WIB

Pengamat UGM Sarank RI Terima Tawaran Putin Terkait Pengembangan Pembangkit Nuklir

Rencana pembangunan PLTN di Indonesia terlalu lama jika harus menunggu 2040

Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Ibu Kota Moskow, Kamis (30/6/2022).
Foto: EPA-EFE/VYACHESLAV PROKOFYEV/SPUTNIK/KREMLIN
Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Ibu Kota Moskow, Kamis (30/6/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan tawaran Presiden Rusia Vladimir Putin kepada Presiden Jokowi terkait kerja sama pengembangan teknologi nuklir adalah momentum untuk merealisasikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia."Menurut saya saat inilah momentum yang tepat (realisasikan PLTN)," kata Fahmy saat ditemui di kediamannya di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, rencana pembangunan PLTN di Indonesia terlalu lama jika harus menunggu 2040 mengacu Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). "Kalau 2040 akan tertinggal jauh," ujar dia.

Baca Juga

Karena itu, Fahmy menuturkan tawaran Vladimir Putin terkait pengembangan teknologi nuklir di Indonesia wajib diterima. Apalagi Indonesia memiliki target mencapai nol emisi karbon pada 2060.

Tanpa menghadirkan nuklir sebagai energi komplementer, menurutnya, mustahil Indonesia mencapai target itu."Dengan kemampuan Rusia yang cukup besar, kemudian juga kebutuhan Indonesia untuk mencapai 'zero carbon' dan kita punya uranium maka wajib menerima tawaran dari Putin," ujar dia.

Karena dengan memiliki bahan baku uranium sendiri, menurut dia, biaya produksi pengembangan PLTN di Indonesia lebih murah dibandingkan di negara lain yang tidak memiliki uranium."Kita punya uranium, kita punya sumber daya tapi kita tidak punya teknologi karena untuk PLTN dibutuhkan teknologi tinggi," kata dia.

Menurut Fahmy, sebagai energi bersih yang dapat melengkapi bauran energi baru terbarukan (EBT) pembangkit listrik di Indonesia, PLTN sekaligus dapat mengatasi kelemahan pembangkit tenaga surya dan bayu, yang tidak dapat memasok listrik secara penuh sepanjang waktu. Ini karena sifatnya intermittent, yang tergantung cahaya matahari dan embusan angin.

Dengan pengalaman, kompetensi, dan keandalan teknologi Rusia dalam pengembangan PLTN melalui Rosatom State Corporation, menurut dia, pemerintah perlu meyakinkan bahwa masa depan pengembangan PLTN di Indonesia aman.

Ia mengatakan Rosatom telah mengembangkan PLTN yang terbesar di Rusia, yakni Novovoronezh Unit 6, yang berkapasitas 1.200 MW di Voronezh.Selain di darat, menurut dia, Roastom juga membangun PLTN Terapung KLT-40S, yang dapat berlayar menjelajahi sejauh 5.000 km, dengan kapasitas sebesar 80 MW.

Rosatom saat ini menggunakan teknologi nuklir generasi terbaru, tipe reaktor VVER 1200 dengan teknologi generation 3 Plus yang merupakan pertama di dunia, dengan masa operasi selama 60 tahun didukung sistem pengamanan teknologi VVER 1200 memiliki zero accident standard.

"Saya pernah ke Rosatom, Rusia, dia menunjukkan simulasi, dari sisi keamanan sangat tinggi sekali bahkan dikatakan 'zero accident'. Kalau Chernobyl yang dulu pernah meledak itu kan pakai teknologi lama ya," ucap dia.

Tidak hanya menguntungkan dari sisi energi, menurut Fahmy, secara politik kerja sama pengembangan teknologi nuklir dengan Rusia juga berpeluang memperlancar proses perdamaian antara Rusia dengan Ukraina yang dibawa Presiden Jokowi."Sembari membahas kerja sama nuklir tadi barangkali bisa memasukkan agenda gencatan senjata, misalnya. Kalau ini bisa berjalan dengan baik saya kira Jokowi akan meninggalkan 'legacy' yang luar biasa, tidak hanya di nasional tetapi di tingkat internasional khususnya dalam menjaga perdamaian dunia," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement