REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Amerika Serikat (AS) mencatat inflasi Mei 2022 sebesar 8,6 persen. Tingginya inflasi ini mendorong bank sentral AS melanjutkan serangkaian langkah seperti menaikkan suku bunga.
Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Wisnu Wibowo mengatakan, perekonomian Indonesia akan merasakan imbas dari tingginya inflasi AS. Area-area yang terdampak di antaranya adalah pasar keuangan dan pasar saham.
Meskipun demikian, kata Wisnu, pada sisi lain naiknya harga komoditas juga berpotensi memberikan dampak positif bagi Indonesia. Di antaranya adalah terjadinya peningkatan kinerja perdagangan luar negeri Indonesia yang didorong karena kenaikan harga komoditas ekspor, seperti sawit dan batu bara.
Wisnu menerangkan, bank sentral AS (The Fed) mengendalikan inflasi dengan menerapkan kebijakan kenaikan suku bunga acuan. Di pasar keuangan, kebijakan itu dapat memicu terjadinya capital outflow yang disebabkan oleh melebarnya kesenjangan antara suku bunga domestik dan suku bunga internasional (interest spread).
“Dana investasi jangka pendek akan balik kandang ke pasar keuangan US untuk menikmati keuntungan dari selisih bunga yang lebih tinggi,” kata dia, Senin (4/7/2022).
Di pasar saham, lanjutnya, kenaikan harga komoditas global dapat memberikan dampak ganda yang berbeda. Kinerja saham sektor-sektor komoditas akan bergerak positif. Sebaliknya, untuk sektor yang mengalami tekanan harga energi dan pangan akan mengalami tekanan yang cukup serius. Contohnya perusahaan pembangkit listrik.
“Namun, khusus untuk sektor consumer good, tekanan yang dialaminya tidak terlalu besar, karena mereka lebih mampu fleksibel untuk menyesuaikan harga produk,” ujarnya.
Menurut Wisnu, kenaikan suku bunga The Fed juga dapat memberikan tekanan pada kurs mata uang. Rupiah berpotensi mengalami pelemahan apabila nantinya Bank Indonesia melakukan penyesuaian kebijakan moneter dengan meningkatkan suku bunga acuan.
“Apabila hal itu terjadi, maka dapat mengganggu momentum pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi,” kata dia.