Kamis 30 Jun 2022 14:21 WIB

Kritik Pengesahan Pemekaran, MRP: DOB Papua tak Libatkan Rakyat

MRP menilai hukum lebih melindungi perusahaan dibanding pemilik hak ulayat.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Sejumlah pengunjukrasa dari berbagai elemen mahasiwa berunjukrtasa di Jalan Buper, Waena, Kota Jayapura, Papua, Selasa (10/5/2022). Aksi tersebut sebagai bentuk penolakan atas pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.
Foto: ANTARA/Gusti Tanati
Sejumlah pengunjukrasa dari berbagai elemen mahasiwa berunjukrtasa di Jalan Buper, Waena, Kota Jayapura, Papua, Selasa (10/5/2022). Aksi tersebut sebagai bentuk penolakan atas pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengkritisi sikap DPR dan pemerintah yang akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan menjadi undang-undang. Ia menegaskan, pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua bukan keinginan dari orang asli Papua.

"Tiga RUU yang saya pikir itu adalah keinginan Jakarta, bukan keinginan orang asli Papua," ujar Timotius dalam konferensi pers secara daring yang digelar Amnesty International Indonesia, Kamis (30/6/2022).

Baca Juga

Ketidakberpihakan pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua sudah terlihat dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pasalnya, seluruh substansi di dalamnya tak sesuai dengan keinginan masyarakat Bumi Cendrawasih.

Menurutnya, pemerintah pusat belum sepenuhnya melaksanakan 24 kewenangan yang diatur dalam UU Otsus Papua. Kesejahteraan orang asli Papua dikesampingkan demi kepentingan ekonomi segelintir pihak atau kelompok saja.

"Hukum yang ada lebih melindungi perusahaan dibanding pemilik hak ulayat. DOB adalah pelanggaran HAM," ujar Timotius.

MRP juga tak lagi dimintai persetujuan oleh pemerintah dan DPR dalam proses pembahasan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan. Pemerintah dan DPR disebutnya tengah mempertontonkan pengelolaan yang buruk kepada masyarakat, khususnya orang asli Papua.

"Artinya bahwa DOB ini konsekuensi dari pada perubahan kedua yang terburuk dan tanpa keterlibatan rakyat Papua," ujar Timotius.

DPR mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) daerah otonomi baru (DOB) Papua, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan. Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-26 DPR Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022.

"Apakah RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Pegunungan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat paripurna dijawab setuju oleh anggota DPR yang hadir, Kamis (30/6/2022).

Sebelum pengesahan, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan laporan terkait pembahasan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan. Ia menjelaskan, pemekaran merupakan bagian dari amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.

"Dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan, sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan aspirasi masyarakat Papua," ujar Doli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement