REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR Puan Maharani mengeklaim, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) tak bertentangan dengan undang-undang lain. Terutama dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
"DPR bersama pemerintah akan meminta masukan dari seluruh stakeholder terkait. Kita berharap dapat ditemukan solusi terbaik yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak," ujar Puan lewat keterangan tertulisnya, Ahad (26/6/2022).
Usulan cuti melahirkan selama enam bulan bagi pekerja perempuan, diamini Puan menimbulkan pro dan kontra di publik. Namun, ia menegaskan, RUU KIA merupakan salah satu upaya untuk menyejahterakan ibu dan anak secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan.
"Salah satunya lewat pemenuhan hak dasar orang tua, khususnya ibu. Termasuk hak cuti yang memadai bagi orang tua bekerja," ujar Puan.
Selain cuti melahirkan selama enam bulan bagi ibu, RUU KIA juga rencananya akan mengusulkan cuti bagi seorang ayah atau suami selama 40 hari. Tujuannya, suami atau ayah dapat membantu merawat anaknya yang baru lahir.
"Badan musyawarah DPR sudah menyepakati RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA akan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna terdekat," ujar Puan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendukung gagasan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Salah satu poin dalam RUU KIA yaitu cuti melahirkan sepanjang enam bulan bagi seorang ibu.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Agustina Erni menyatakan kehadiran RUU KIA ini penting dalam pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM) di masa mendatang. "Hal menarik di dalam RUU KIA ini adalah terkait pemberian cuti melahirkan selama 6 bulan. Saya pikir, pemberian cuti tersebut sangat mendukung untuk kesejahteraan ibu pasca melahirkan dan tentu saja bagi anak," kata Erni dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id pada Rabu (22/6).