REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menyebut pembentukan koalisi dini sebagaimana yang telah dilakukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dianggap strategis. Alasan pertama, koalisi tersebut sudah memenuhi persyaratan minimal pencalonan presiden 20 persen.
"Kalau kita gabungkan perolehan tiga partai ini sudah memenuhi suara persentase kursi sebesar 25,7 persen," kata Arya dalam sebuah diskusi daring bertajuk 'Manuver Koalisi Partai Menjelang Pemilu Presiden: Motivasi dan Resiliensi', Rabu (8/6/2022).
Kemudian alasan berikutnya KIB dianggap strategis lantaran syarat dukungan koalisi tersebut sudah terpenuhi. Arya menilai calon yang akan diusung akan memperoleh kepastian.
"Jadi bagi kandidat, misalnya kandidat capres itu ada kepastian untuk maju atau diusung oleh koalisi ini," ucapnya.
Arya menambahkan, alasan lain KIB dinilai strategis karena tersedianya banyak ruang bagi partai-partai di internal koalisi untuk mendiskusikan kebijakan strategis apa yang akan mereka dorong baik prapemilu maupun pascapemilu 2024.
Meskipun pembentukan koalisi dini dinilai strategis, namun menurutnya ada sejumlah hal yang bisa saja mempengaruhi soliditas koalisi dini. Arya menyebut ada tiga faktor yang mempengaruhi solidnya koalisi dini. Pertama seberapa terbukanya power sharing didiskusikan di internal partai-partai yang akan berkoalisi.
"Kalau power sharing-nya itu lebih terbuka diantara partai-partai yang akan berkoalisi itu diprediksi koalisinya bisa akan lebih stabil atau lebih solid. Tetapi kalau power sharing-nya tidak didiskusikan secara terbuka diprediksi akan gampang bubar," jelasnya.
Kemudian hal lain yang juga mempengaruhi soliditas koalisi dini yaitu seberapa mampu koalisi dini tersebut mengusung calon yang mengusung calon yang potensial menang. Sebab jika calon yang diusung bukan calon yang berpotensial menang, maka koalisi juga akan rentan bubar.
"Karena akan ada dorongan atau akan ada tarikan dari eksternal untuk berpindah ke koalisi lain yang dianggap mampu mengusung calon yang potensial menang itu juga akan menjadi daya tahan mereka," ungkapnya.
Lalu faktor lain yang mempengaruhi soliditas koalisi dini yaitu mampunya partai merepresentasikan preferensi pemilih. Jika partai gagal memahami keinginan pemilihnya maka para pemilih akan memberikan pilihan ke kandidat lain.
"Jadi saya kira kesalahan partai dalam pilihan partai untuk menentukan koalisi mana yang akan mereka bergabung, atau bagaimana skenario mereka terhadap koalisi itu akan mempengaruhi peroleh suara partai-partai dalam pemilu. Jadi kesalahan partai dalam berkoalisi juga akan mempengaruhi suara mereka dalam pemilu nanti," ucapnya.