Kamis 02 Jun 2022 05:30 WIB

Reza Indragiri Sebut Kasus AKBP Brotoseno Bentuk Wall of Silence di Polri

Brotoseno terpidana korupsi lima tahun, namun malah kembali aktif di institusi Polri.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Erik Purnama Putra
Terdakwa kasus suap pengurusan penundaan panggilan pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan, AKBP Brotoseno, berjalan memasuki ruang sidang dengan agenda pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (14/6).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Terdakwa kasus suap pengurusan penundaan panggilan pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan, AKBP Brotoseno, berjalan memasuki ruang sidang dengan agenda pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (14/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terpidana kasus korupsi AKBP Raden Brotoseno yang kembali aktif di korps Bhayangkara usai menjalani hukuman penjara, mendapat banyak kritik dari berbagai pihak. Ahli kriminal forensik, Reza Indragiri Amriel menganggap, aktifnya Raden Brotoseno sebagai polisi menjadi semacam cacat etika dan moralitas di institusi Polri.

Menurut dia, kepolisian selaku institusi harus punya standar etika, moralitas, dan ketaatan hukum di level tertinggi. Reza mempertanyakan, bagaimana polisi bisa diandalkan untuk pemberantasan korupsi kalau ternyata malah bertoleransi terhadap perwiranya yang pernah melakukan korupsi.

"Masih relevan. Tapi romantisme semua pandangan tersebut. Sekarang kita pragmatis saja. Pertama, seberapa jauh kemungkinan perwira polisi yang pernah dipidana dalam kasus korupsi akan mengulangi perbuatan jahatnya? Jawabannya semestinya diperoleh lewat risk assessment," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (1/6/2022).

Sehingga, dia berpesan, perlu diverifikasi seberapa serius pula Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melakukan risk assesment terhadap para napi korupsi. Kalau hasilnya ternyata menyimpulkan bahwa risiko residivismenya tinggi, sambung dia, sungguh pertaruhan yang terlalu mahal bagi Polri untuk mempertahankan personelnya tersebut.

Terlebih, menurut dia, ketika yang bersangkutan ditempatkan di posisi strategis yang memungkinkan dapay menyalahgunakan lagi kewenangannya. "Yang jelas, berdasarkan riset diketahui bahwa tingkat pengulangan kejahatan kerah putih adalah lebih tinggi daripada kejahatan dengan kekerasan," ucap Reza.

Dia merasa pantas jika banyak pihak merasa waswas perwira menengah Polri itu bisa melakukan kejahatan korupsi lagi ke depannya. Kedua, sambung dia, di organisasi kepolisian ada wall of silence. Aktivitas itu adalah kebiasaan menutup-nutupi penyimpangan sesama aparat. Lagi-lagi, menurut Reza, kalau mau fair, perlu dicek dulu apakah wall of silence juga marak di Polri.

"Lebih spesifik, apakah mempertahankan AKBP Brotoseno bisa dianggap sebagai bentuk wall of silence oleh institusi Polri," kata Reza.

Meski begitu, ia meyakini, dari ribuan polisi yang disurvei, kebanyakan mengakui tradisi wall of silence berlangsung masif. Semakin parah, kata Reza, lebih dari separuh personel yang disurvei menganggap subkultur destruktif itu bukan sebuah masalah.

Itu artinya, kembali ke poin pertama, andai personel tersebut melakukan lagi aksi kejahatan kerah putih, kata dia, kecil kemungkinan reoffending tersebut akan menjadi kasus hukum. "Maka terjadilah wall of silence. Publik tak akan tahu-menahu," jelas Reza.

Kasus yang menjerat Brotoseno terkait masalah korupsi cetak sawah di Pulau Kalimantan periode 2012-2014. Dia pun ditangkap penyidik Bareskrim Polri pada 2016 dan divonis bersalah pada 2017. Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman pidana selama lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta kepada terpidana. Kini, Brotoseno malah aktif lagi di kepolisian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement