Rabu 18 May 2022 09:29 WIB

Fahri Hamzah Ungkap Kesalahan Singapura Tolak UAS

Singapura diminta untuk menjelaskan mengapa UAS sampai harus ditolak.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (17/2).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Politikus Partai Gelora Fahri Hamzah menyayangkan penolakan Singapura terhadap Ustaz Abdul Somad. Fahri menilai menolak perjalanan pribadi seorang biksu Myanmar atau pendeta Singapura atau Ustaz Indonesia bukanlah sebuah tindak keimigrasian yang beradab.

"Apalagi jika perjalanan itu murni perjalanan wisata dengan perempuan dan anak bayi dibawah 1 tahun. Ini melanggar nilai-nilai dasar ASEAN," ujar Fahri Hamzah lewati kicauan di Twitter-nya, Rabu (18/5/2022). 

Baca Juga

Dalam prinsip keimigrasian modern, kata Fahri, pelayanan imigrasi sejatinya mempermudah silaturahim antar sesama manusia yang berada di satu negara dengan di negara lainnya. Negara tidak perlu memiliki kecemasan berlebihan sebab pada dasarnya people to people contact tak bisa dihindari.

"Ada persoalan lain yang nampak dari kasus UAS ini, yaitu berkembangnya Islamophobia tidak saja di beberapa negara tetangga tetapi juga termasuk di dalam negeri. Islamophobia dan berbagai macam kebencian kepada sesama adalah penyakit ummat manusia kita hari ini," ujarnya.

Itulah sebabnya, kata Fahri, PBB menetapkan pada 15 Maret sebagai hari Internasional melawan Islamophobia. PBB telah mulai melancarkan  kampanye global untuk melawan penyakit sosial ini. "Kasus UAS ini dapat menjadi pelajaran awal di kawasan ASEAN. Paling tidak di dalam negeri sendiri."

Memberi penjelasan

Fahri menekankan di alam demokrasi, melintas negara adalah HAM. Statuta ASEAN mengatur hal itu. "Makanya gak perlu visa.. Negara tidak perlu menjelaskan kenapa seseorang diterima karena itu HAK. Tapi negara wajib menjelaskan kenapa seseorang ditolak. (bagi yg setuju prinsip demokrasi dan HAM)," jelas mantan wakil ketua DPR itu.

Fahri mengungkapkan, waktu UU imigrasi Nomor 6 Tahun 2011, Indonesia telah menerapkan seluruh konvensi dan aturan internasional yang menjunjung tinggi HAM dalam keimigrasian. Bahkan di beberapa pintu imigrasi memakai teknologi yang tidak perlu lagi ada pertemuan petugas dengan melintas batas.

Dalam prinsip keimigrasian modern tugas penjaga perbatasan imigrasi hanya memastikan kelengkapan dokumen. Dia tidak memeriksa ceramah atas pandangan politik orang apalagi yang disampaikan di majelis majelis keilmuan. "Makanya perbatasan cukup pakai cap jari atau pengenal wajah."

Sementara dalam konsep keimigrasian kuno, pelintas batas sangat bergantung kepada penerimaan politik negara tujuan yang sangat subjektif dan tidak bisa menerapkan prinsip-prinsip umum tentang HAM, termasuk perjalanan dari satu titik ke titik lain. Itulah sebabnya kelengkapan administrasi bukan segalanya.

"Maka jika ada negara di ASEAN khususnya yang telah menyepakati perjalanan tanpa Visa harus mengumum kan kepada  semua negara Tetangganya daftar orang yang mereka tolak masuk karena alasan politik. Hal ini untuk menghindari adanya insiden penolakan oleh petugas imigrasi setempat."

Baca juga : Pernyataan Resmi Singapura Tolak UAS: Sebarkan Ajaran Esktremis

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement