Jumat 06 May 2022 08:37 WIB

Pesan Toleransi dari Margasari

Belajar menyika[i furu'iyah

Shalat Idul Fitri di sebuah kampung. (ilustrasi)
Foto:

Akibat Covid-19, di mana kebanyakan warga Muslim yang merantau ke luar daerah, utamanya Jabodetabek, tidak sempat mudik selama dua tahun, maka Salat Id kali ini, baik yang berlangsung di Masjid At-Taqwa maupun Lapangan Barat secara kuantitas mengalami peningkatan. Jumlah jamaah di Masjid At-Taqwa misalnya terlihat sampai sedikit meluber ke halaman masjid. Begitu pun jamaah Salat Id yang berlangsung di Lapangan Barat juga melangalami lonjakan hingga melebihi jamaah yang berada di Masjid At-Taqwa. Menurut penuturan Ketua PRM Margasari Samsul Fata, diperkirakan jamaah yang ikut Salat Id di Lapangan Barat berjumlah lebih dari 2,6 ribu jamaah. 

Pelaksanaan Salat Id di Margasari patut menjadi contoh bagi daerah lain. Pertama, Margasari hanya nama sebuah desa dan sekaligus kecamatan di Kabupaten Tegal. Lazimnya pedesaan, apalagi di Jawa Tengah, kecenderungan pola beragamanya bersifat homogen. Pola beragama ini tentu berbeda dengan di daerah urban atau perkotaan yang cenderung heterogen. Ketika pola beragama di pedesaan yang cenderung homogen mampu menghasilkan tradisi beragama yang toleran, tentu ini luar biasa. Sebab di banyak daerah masih sering terjadi ketegangan-ketegangan, terutama dalam menyikapi persoalan furuiyah atau khilafiyah, termasuk menyikapi perbedaan tempat pelaksanaan Salat Id: lapangan atau masjid. 

Kedua, ada pesan kuat terkait pentingnya toleransi, bahwa perbedaan adalah niscaya, sunatullah, sebagaimana pesan QS. Al-Hujurat: 13, dan semestinya niscaya pula dalam menyikapi perbedaan tersebut dengan mengedepankan prinsip-prinsip universal yang tergambar dalam maqasid al-syariah, di antaranya prinsip toleransi (tasamuh). Dalam konteks negara Pancasila yang menjunjung tinggi kebinekaan, termasuk bineka dalam hal keberagamaan, toleransi juga menjadi keniscayaan. Tak dibenarkan ada monopoli kebenaran dalam beragama, terlebih dalam hal yang berkenaan dengan masalah furuiyah dan khilafiyah.

Ketiga, terkait tradisi tempat pelaksanaan Salat Id di Margasari menggambarkan bahwa secara sosiologis, Muhammadiyah dan NU struktural maupun “Nahdliyyin kultural” bisa hidup berdampingan, saling menerima dan melengkapi. Poin terakhir: “Nahdliyyin kultural” sengaja saya sebut, karena faktanya di masyarakat terdapat varian ini, yang secara kuantitas jauh lebih banyak, di mana secara kultural mereka menjalankan amalan-amalan keagamaan yang dilakukan oleh NU, namun tak banyak di antara mereka yang paham masalah keNUan, kecuali amalan-amalan ritual peribadatan. Secara organisatoris, mereka biasanya tidak terlibat aktif di NU. Lebih dari itu, pilihan politik mereka juga biasanya berbeda dengan mereka yang berada di wilayah NU struktural.

Kerapkali di banyak daerah, Muhammadiyah sulit diterima hanya karena berbeda dalam hal paham keagamaan, terkait masalah furuiyah maupun khilafiyah, hal yang sebenarnya juga dipelajari di kalangan pesantren, yaitu ketika mengkaji kitab-kitab perbandingan madzhab, terutama madzahib al-arbaah.

Disayangkan, terkadang perbedaan furuiyah atau khilafiyah kurang atau bahkan mungkin sengaja tidak dijelaskan secara baik, sehingga di level arus bawah, ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh perbedaan furuiyah dan khilafiyah masih kerap terjadi. Sedikit sekali para kiai atau ustadz yang mencoba serius menyampaikan perbedaan-perbedaan keagamaan dalam konteks mencari konvergensi, titik-titik temu di antara umat Islam yang berbeda dalam hal paham keagamaan. 

Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dari NU dan Mas Tafsir Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah adalah sedikit dari kiai atau ustadz yang dalam banyak kesempatan ceramah-ceramahnya sering memberikan pesan kuat akan pentingnya memahami dan bertoleransi dalam hal pandangan keagamaan yang berbeda. Sementara tidak sedikit kiai atau ustadz yang justru “menikmati” dan sekaligus “memanfaatkan” secara kurang positif atas perbedaan-perbedaan furuiyah maupun khilafiyah di antara umat Islam. Perbedaan-perbedaan ini tidak mencoba dijelaskan dengan baik, misalnya dengan pendekatan kajian perbandingan madzhab. Bahkan sebaliknya, seolah-olah justru fungsional bagi kebanyakan kiai dan ustadz. 

Realitas ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa kiai atau ustadz yang alim memang banyak, namun sedikit sekali yang mempunyai kearifan. Memang tidak mudah menjadi kiai atau ustadz yang alim sekaligus arif. Kiai atau ustadz yang mampu menyandang predikat alim dan arif biasanya dalam dirinya tertanam kuat sebuah prinsip bahwa perbedaan merupakan keniscayaan. Karena berbeda itu niscaya, maka perbedaan tak seharusnya mengalahkan kebersamaan (ukhuwah) di antara umat Islam, sebagaimana pesan QS. Ali Imron: 103. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement