Senin 02 May 2022 14:10 WIB

Lebaran Bahagia bagi Warga Dusun Tekelan

Idul Fitri 1443 Hijriah menjadi Lebaran bermaknan bagi warga Tekelan.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yudha Manggala P Putra
Sejumlah warga bersalaman usai melaksanakan salat Idul Fitri 1443 Hijriyah.
Foto: ANTARA/Adeng Bustomi
Sejumlah warga bersalaman usai melaksanakan salat Idul Fitri 1443 Hijriyah.

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN — Idul Fitri 1 Syawal 1443 Hijriah tahun 2022 kali ini, menjadi Lebaran yang cukup bermakna bagi 700- an warga Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Dua tahun berlalu, warga dusun tertinggi di lereng Merbabu ini tidak menggelar berbagai hajat keagamaan yang bersifat massal dan selama ini menjadi tradisi bagaimana mereka menjunjung tinggi nilai keberagaman dan toleransi umat.

Kali ini, mereka kembali menggelar tradisi kerukunan antar pemeluk agama tersebut melalui momentum Idul Fitri. Tak pelak, tangis bahagia pun pecah saat mereka acara halal bihalal menyambut Lebaran kali ini kembali terlaksana.

Salah satu warga Dusun Tekelan, Suwandi (61) menuturkan, warga dusunnya merupakan pemeluk agama Islam, Katolik, Kristen dan Budha. Setiap hari besar keagamaan tiba, antar  pemeluk agama saling menunjukkan semangat toleransi yang kuat.

Seperti pada hari raya Idul Fitri 1443 Hijriah kali ini, seluruh pemeluk agama lain –tanpa terkecuali—turut memberikan ucapan kepada umat yang merayakan dengan berjajar di jalanan depan masjid Abu Bakar As-Shidiq Dusun Tekelan.

Setiap umat kristiani merayakan Hari Raya Natal, jelasnya, warga pemeluk agama lain juga melakukan hal yang sama di depan gereja.

“Pun demikian pada saat umat Budha merayakan hari raya Waisak, semua juga berkumpul dan mengucapkan saudara mereka yang merayakan di depan vihara yang berada di jalan utama dusun ” jelasnya, Senin (2/5).

Kepala Dusun Tekelan, Supriyo Tarsan mengungkapkan, apa yang sudah menjadi kebiasaan warga di dusunnya --dalam menyambut hari raya keagamaan—menjadi salah satu warna kehidupan keagamaan warga yang plural dalam bingkai keharmonisan.

Saling menghormati antar pemeluk agama, saling menghargai perbedaan dan gotong royong dalam mempersiapkan berbagai keperluan untuk kegiatan keagamaan menjadi kekuatan warga Dusun yang berada di ketinggian 1.600 mdpl ini.

Ia juga menyampaikan, dua tahun pandemi memang memaksa kegiatan seperti ini ditiadakan karena warga tetap menghormati keputusan Pemerintah. “Sehingga, momentum ini sudah sangat dinantikan,” katanya.

Ngatimin (45) warga lainnya menambahkan, selama ini warga antar umat beragama selalu hidup rukun di Dusun Tekelan. bahkan tidak pernah ada konflik keagama meski pun masjid, gereja serta vihara jaraknya cukup berdekatan.

“Di sini --masjid Abu Bakar As-Shidiq, gereja GPdI El Shadai serta vihara Budha Bhumika-- berada dalama satu lingkungan yang saling berdekatan,” jelasnya.

Para leluhur di Dusun Tekelan, lanjutnya, telah menanamkan toleransi sebagai norma yang wajib yang harus dijunjung tinggi. Walaupun dalam keyakinan berbeda, tetapi warga merupakan bagian dari sebuah lingkungan sosial yang tidak dapat berdiri sendiri.

Sehingga mulai dari warga yang sepuh sampai dengan anak- anak pun tetap mempraktikan nilai- nilai keharmonisan dalam interaksi sosial mereka dengan baik tanpa ada konflik, apalagi yang dilatarbelakangi perbedaan keyakinan.

Makanya, sesama orang tua pun tidak hanya sekedar mengucapkan salam dan berjabat tangan,  bahkan juga saling berpelukan hingga berlinang air mata. “Mereka bahagia kehidupan yang harmonis dan saling megormati ini masih langgeng di Dusun tekelan ini,” tegas Ngatimin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement