REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Masjid Adzikri Muruy di Kampung Muruy Menes Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten kini sudah berusia lebih dari satu abad dan hingga kini masih kokoh.
"Masjid itu hanya dua kali pemugaran bagian depan dan ruangan, termasuk toilet pada 2005 dan 2007," kata Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Adzikri Muruy Kabupaten Pandeglang H Muhammad Ilyas saat ditemui di Pandeglang.
Masjid Adzikri Muruy termasuk masjid tertua di Banten. Namun, empat tiang kayu penyangga bagian tengah masih utuh tanpa keropos. Masjid Adzikri Muruy dibangun oleh Syech Asnawi Caringin pada 1890 atau setelah tujuh tahun Gunung Krakatau meletus 1883.
Saat itu, kata Ilyas, Kampung Muruy dijadikan tempat lokasi pengungsian bagi warga pesisir pantai barat Provinsi Banten yang terdampak bencana Gunung Krakatau. Letusan Gunung Krakatau sangat dahsyat hingga 36 ribu warga pesisir meninggal dunia.
Syech Asnawi seorang ulama kharismatik Banten juga mengungsi di Kampung Muruy bersama warga lain. Selama tinggal di lokasi pengungsian Syech Asnawi membangun masjid hingga menikah dengan penduduk setempat. "Warga tetap melestarikannya," kata Ilyas.
Menurut dia, masjid Adzikri Muruy pernah dimasuki pasukan Belanda pada agresi kedua pada 1948. Pasukan Belanda itu mengumpulkan warga dan tokoh setempat di masjid untuk berdialog, tapi hanya dihadiri beberapa orang saja. Beruntung, pasukan Belanda yang dilengkapi senjata tidak melakukan kekerasan hingga penembakan.
"Saya mengetahui kejadian itu karena usia sekitar tujuh tahun," kata Ilyas.
Menurut dia, saat Ramadhan, Masjid Adzikri Muruy seluas 400 meter persegi dengan daya tampung 350 orang menggelar pengajian tadarusan Alquran, dakwah, shalat tarawih dan diskusi keagamaan. Kegiatan agama selama Ramadhan di masjid itu cukup penuh sejak buka puasa hingga usai shalat Subuh.
"Kami sudah mengagendakan setiap Ramadhan menggelar kegiatan keagamaan," kata Ilyas menjelaskan.
Sementara itu, tetua warga Kampung Muruy Pandeglang Munajat mengatakan, masjid ini dulunya digunakan tempat ibadah warga pengungsian Gunung Krakatau meletus. Bahkan, tidak jauh dengan masjid terdapat pemakaman warga pengungsian Gunung Krakatau erupsi.
Mereka warga pengungsian meninggal di lokasi itu, karena sakit, luka-luka akibat terkena erupsi Gunung Krakatau dan kelaparan. "Kami melestarikan pemakaman pengungsian Gunung Krakatau itu, karena sudah tidak ada keluarga mereka," kata Munajat.