Jumat 22 Apr 2022 14:31 WIB

Argumentasi Penerapan Tarif Akses NIK Rp 1.000 Dinilai Lemah

Jangan sampai pada penerapannya lembaga mengalihkan tarifnya kepada masyarakat.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ilham Tirta
Nomor induk kependudukan (NIK).
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Nomor induk kependudukan (NIK).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri merencanakan penerapan tarif senilai Rp 1.000 bagi lembaga pengguna database kependudukan setiap kali mengakses Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair), Gitadi Tegas Supramudyo menilai, dasar argumentasi yang digunakan pemerintah dalam menerapkan kebijakan tersebut masih lemah.

“Filosofi dasar dari penarikan Rp 1.000 itu kok untuk peningkatan sarana dan prasarana yang notabene itu tugas negara. Yang perlu diperkuat adalah argumen yang dipakai karena itu wilayahnya negara dan menjadi hak warga negara, meskipun yang terbebani itu lembaga-lembaga, katakanlah bank dan sebagainya,” kata Gitadi, Jumat (22/4/2022).

Baca Juga

Selain itu, lanjut Gitadi, perlu adanya transparansi yang lebih tinggi berupa kesepakatan kontraktual antara pemerintah dengan lembaga-lembaga yang telah ditentukan. Menurutnya, jangan sampai pada penerapannya lembaga tersebut mengalihkan pembebanan tarifnya kepada masyarakat.

Berikutnya, kata dia, transparansi harus diterapkan terhadap target kebijakan ini, yaitu lembaga-lembaga profit oriented seperti bank, asuransi, dan pasar modal. Menurutnya, penting untuk melakukan penajaman kriteria pembebanan supaya adil dan tidak ada unsur tebang pilih.

"Jadi bukan sekadar menggunakan kewenangan negara secara sepihak, sementara itu ada keadilan masyarakat (pihak swasta) yang terganggu,” ujarnya.

Gitadi pun berharap, dengan adanya kebijakan ini kekuatan basis data dapat di-backup secara berlapis. Hal ini sekaligus mencegah kemungkinan kebocoran atau penyalahgunaan data.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement